Minggu, 29 Maret 2009

foto seri potret

Tulisan yang diberikan pada Short Portrait Series Clinique di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bandung tanggal 4 Mei 2008.

Berbicara tentang foto potret, sesungguhnya adalah membicarakan genre foto yang tak pernah lekang dimakan oleh jaman. Foto potret selalu dapat menempatkan dirinya di setiap masa yang berbeda. Apalagi dengan keunikan fotografi yang dapat menciptakan sebuah pencitraan, foto potret yang sangat sederhana sekalipun dapat memberikan sebuah imej visual tersendiri bagai ruh yang keluar dari foto tersebut. Fotografer dunia kenamaan macam Richard Avedon membuktikan kecintaannya pada foto potret dengan berkeliling mengabadikan masyarakat pinggiran AS sambil membawa backdrop putih di bak belakang mobilnya. Bahkan foto potret seorang tokoh pemberontak Ernesto Guevara yang diabadikan oleh Alberto Korda, hingga kini menjadi icon di kalangan anak muda yang berjiwa revolusioner. Belum lagi kita patut berbangga bahwa seorang fotografer Indonesia, Indra Leonardi berhasil membukukan karya-karya foto potretnya yang berjudul Indonesian Portraits. Indra Leonardi dengan gayanya yang klasik secara unik berhasil memainkan cahaya dengan merekam tokoh-tokoh kebanggaan Indonesia seperti sutradara Garin Nugroho, penyanyi wanita Titi DJ, petinju Chris John, pakar sejarah Des Alwi, penulis lagu Gesang dan masih banyak lagi.

Sebenarnya membuat sebuah foto potret tidaklah sesederhana apa yang kita pikirkan. Karena secara tidak disadari, saat kita merekam foto potret seseorang berarti kita mentransfer sejumlah energi yang kita miliki kepada orang yang kita foto. Oleh karenanya kita sering mendengar kalimat yang berbunyi “foto itu berbicara” meski kita semua seharusnya tahu bahwa diri kitalah yang sebenarnya berbicara lewat sebuah foto yang kita ciptakan. Oleh karena itu langkah awal sebelum kita membuat sebuah karya foto potret adalah kita harus mengenal terlebih dahulu orang yang akan kita potret. Setelah itu adalah mendengar, suatu proses yang sangat penting dan sering dilupakan oleh seorang fotografer. Dan langkah selanjutnya adalah menghargai orang yang akan kita abadikan. Barulah kita bisa memulai untuk memotret orang tersebut.

Bayangkan ketika kita mendapatkan sebuah karya foto potret seseorang lalu kita bercerita kepada orang lain tentang foto tersebut tetapi bukan dengan memaparkan bagaimana sudut pengambilannya, teknik pencahayaannya, komposisi pemotretannya melainkan kita bercerita tentang segala sesuatu yang kita dapatkan dari proses mengenal, mendengar & menghargai tersebut. Misalnya saja kita dapat menjelaskan bahwa foto potret yang kita ambil adalah seorang pria bernama Lulus UJianto, anak keturunan seorang raja banten yang bekerja sebagai buruh bangunan dan mampu memberi nafkah ke 2 orang anaknya yang kembar berusia 5 tahun dan tinggal bersama di sebuah gubuk mereka yang sederhana. Sehingga siapapun orang yang melihat foto tersebut akan menyimak dan menaruh perhatian tertentu karena ada sebuah cerita di balik foto tersebut.

Mengapa foto potret hasil bidikan fotografer National Geographic Steve McCurry yang terkenal dengan nama “Afghan Girl” menjadi begitu menarik perhatian? Karena foto tersebut tidak sekedar melukiskan seorang gadis kecil afghan yang bernama Shabat Gula tetapi ada sebuah cerita humanis di dalamnya. Dimana kita ketahui bersama bahwa Steve McCurry melakukan perjalanan kembali ke Afghanistan setelah 17 tahun lamanya hanya untuk mencari gadis tersebut.

Short Portrait Series adalah sebuah istilah yang saya buat untuk menamakan sejumlah karya foto potret yang disajikan bukan sebagai foto single/tunggal, tetapi merupakan rangkaian foto yang mempunyai keterkaitan satu sama lain baik melalui eksplorasi tokoh (figur) yang kita ambil maupun melalui benang merah ide yang hadir di dalamnya. Seperti foto seri potret seorang pakar filsafat Prof.Dr.Bambang Sugiharto yang saya abadikan di ruang kerjanya, foto-foto itu lebih mengusung tokoh sentral seorang Bambang Sugiharto. Lain halnya foto seri potret sebuah penari grup terkenal asal bandung Wanna Be Dancer, dua orang anak kembar Vina & Vani dan seorang pejabat polisi di atas mobil jeepnya, semuanya mencerminkan tentang ide gerak (move) hingga saya memberikan istilah Move Portrait Series.
Harapannya, sebuah Short Portrait Series lebih menawarkan sebuah wacana yang lebih luas ketimbang bila kita hanya melihat sebuah karya foto tunggal yang berdiri sendiri. Sehingga si penikmat foto dapat mentafsirkan sendiri baik dari segi konten,nilai & esensi foto potret tersebut.
Short Portrait Series juga dapat membuat si pemotret menggali lebih dalam dan merealisasikan ide-ide yang muncul sehingga dapat dituangkan ke dalam karya-karya foto potretnya. Layaknya kita menonton sebuah film, seolah-olah Short Portrait Series memiliki alpha & omega nya sendiri. Kita dapat melihat alur, spirit yang ada di dalamnya, kedalaman tokoh atau orang yang kita foto dan lain sebagainya.

Tetapi pada intinya adalah kita dapat menciptakan foto potret pada kehidupan sehari-hari. Bila Leopold Stokowski pernah berujar bahwa “Seorang Pelukis melukiskan karyanya pada sebuah kanvas dan seorang musisi melukiskan karyanya dalam kesunyian”, menurut saya “Seorang fotografer sejati melukiskan karyanya pada kehidupan”.
Salam. Fotografi bergerak!!!

galih sedayu
Pegiat foto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar