Rabu, 01 April 2009

Pencarian Tak Berujung Demi Kelangsungan Peradaban Cahaya

PENCARIAN TAK BERUJUNG DEMI KELANGSUNGAN PERADABAN CAHAYA


Kita tidak akan mempunyai cahaya tanpa ada kegelapan melekat di dalamnya
-Arlo Guthrie-


Tahunnya 1839, saat fotografi dipersembahkan ke dunia berkat penemuan seorang Louis Jacques-Mande Daguerre (1767-1851). Sejak itu dimulailah sebuah peradaban cahaya yang memiliki jutaan umat di muka bumi ini. Bangsa ini sangat beruntung karena 2 tahun setelah penemuan fotografi yang fenomenal tersebut (1841), kita dapat turut merasakannya lewat fotografer Jurian Munich yang membawanya ke Batavia kala itu. Hingga kini yang telah memasuki era digital, fotografi menjadi sebuah candu yang semakin banyak diminati terutama oleh kaum muda.

Daya magnet fotografi itulah yang menghipnotis sekelompok muda pecinta cahaya asal Universitas Islam Bandung (Unisba) yang menamakan dirinya “Jendela Edukasi Pemotret (Jepret)”, untuk menghelar sebuah kegiatan dalam bentuk Pameran Foto yang bertajuk “Jalan Cahaya”. Tajuk ini mereka ambil sebagai sebuah perayaan untuk mengingat kembali esensi cahaya dari disiplin fotografi. Lebih jauh lagi sesungguhnya mereka berusaha mengungkapkan rasa sukurnya kepada Sang Pencipta yang memegang kendali terhadap kuasa cahaya itu sendiri. Melalui Pameran Foto ini pula mereka berkontemplasi terhadap keberadaan cahaya yang hidup. Bagaimana mereka mendefinisikan cahaya melalui mata hatinya. Bagaimana mereka mengeksplorasi skill dan wawasan sesuai dengan ketertarikan visual yang mereka miliki. Juga bagaimana mereka bertanggung-jawab terhadap imaji-imaji yang mereka rekam. Ada sekitar 50 buah karya foto yang dipamerkan oleh mereka dan tentunya ikut memberikan kontribusi terhadap perkembangan fotografi khususnya di kalangan masyarakat pendidikan. Meski karya-karya foto yang dihasilkan oleh mereka belum sepenuhnya utuh tetapi harapannya adalah agar mereka dapat selalu belajar untuk membuat jejak sehingga langkah mereka tidak berhenti di sini saja.

Pada dasarnya fotografi yang tidak bisa lepas dari peran cahaya itu adalah sebuah cara melihat. Freeman Paterson dalam bukunya yang berjudul “Photography and the Art of Seeing”, mengungkapkan bahwa ‘melihat’ sesuatu (dalam konteks merekam gambar) berarti menggunakan rasa, intelektualitas dan emosi yang kita punya. Kita bisa memulainya dengan sebuah pengamatan yang cermat terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Bagaimana kita dapat mengelola cahaya-cahaya dalam bentuk benda maupun peristiwa untuk kemudian diabadikan oleh optis kamera. Oleh karena itu, gambar yang baik, foto yang baik tidak melulu dihasilkan dari sebuah perjalanan yang ribuan mil jauhnya dari rumah. Selama cahaya tetap menemani manusia, fotografi akan selalu menjadi saksi cahaya. Karenanya tetaplah merekam agar penggalan-penggalan visual yang selalu bergerak dalam drama kehidupan ini menjadi beku dan tercatat dalam sejarah peradaban cahaya. Selalu dan selamanya.

Salam. Fotografi bergerak!! Bandung, 25 Maret 2009

Galih Sedayu
Fotografer & Pegiat Foto

Tulisan ini diberikan sebagai kata pengantar pada Pameran Foto “Jalan Cahaya” karya teman-teman JEPRET Universitas Islam Bandung yang berlangsung pada tanggal 30 maret s/d 5 april 2009 di Galeri Kita Jl RE Martadinata No 209 Bandung.

Kegelisahan Visual Versus Tembok Pembatas

KEGELISAHAN VISUAL VERSUS TEMBOK PEMBATAS


As the fascination that photographs exercise is a reminder of death, it is also an invitation to sentimentality
-Susan Sontag-
(Novelist & Filmmaker, dari esei yang ditulisnya, “Melancholy Objects”
dalam buku “On Photography”)

Sejak fotografi ditabiskan dan mewarnai dunia pada tahun 1839 berkat penemuan dua sekawan Joseph Nicephore Niepce (1765-1833) dan Louis Jacques-Mande Daguerre (1767-1851), berjuta imaji dalam hidup pun terus direkam tanpa henti oleh anak manusia yang mengatasnamakan dirinya pengikut cahaya. Foto-foto mereka tercatat dan menjadi jejak visual pada dinding sejarah peradaban fotografi dunia. Dari mulai karya fotografi solarisasi nya seorang Man Ray, karya fotogram nya seorang Laszlo Moholy-Nagy, karya studi multiple-exposure nya seorang Bragaglia, karya foto montase nya John Heartfield dan Alexander Rodchenko atau karya desicive moment nya Henri Cartier-Bresson. Semua aliran foto yang diusung oleh mereka menjadikan fotografi sebuah artefak visual yang utuh dan abadi adanya.

Fotografi dapat menjadi media curahan hati yang sangat personal ketika apa yang dipikirkan ataupun apa yang dialami oleh seorang pemotret menyentuh kegelisahan yang hadir dalam relung sanubarinya masing-masing. Ketika rasa ini ada, fotografi tidak lagi berkompromi dengan hal-hal teknis semata. Tidak ada dogma yang mengharuskan bahwa komposisi foto yang baik itu adalah the rule of third, sudut gambar yang indah itu harus birds eye view, moment yang baik itu harus freeze atau tidak boleh shaking dan lain sebagainya. Di sini fotografi hanya menjadi sebuah medium perantara. Sama seperti yang dikatakan oleh fotografer Andre Kertesz bahwa kamera itu hanya sebuah alat dan melalui alat itu seorang fotografer memberikan makna dan alasan mengenai segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya. Pada saat itulah esensi mengenai isi, makna dan pesan pada sebuah karya foto menjadi hal yang utama untuk diperbincangkan.

Adalah sekelompok anak muda yang tengah mengemban ilmu di Universitas Padjajaran Bandung Jalan Dago Pojok dan menamakan diri mereka Brigadepoto #, yang mencoba menyuarakan kegelisahan imajinasi dan curahan hatinya melalui sebuah Pameran Foto. “Just Kick The Wall”. Begitulah tajuk pameran foto yang dipersembahkan oleh mereka untuk kita. Berawal dari sebuah keinginan yang kuat untuk dapat menorehkan sesuatu melalui fotografi dengan melawan segala keterbatasan yang mereka miliki, Pameran Foto ini pun dimulai. Tujuh pendekar fotografi muda yang bernama Cholidzain, Doly Harahap, Erwin, Irwan, Ojik , Ricky ‘Emon’, Sandi ‘Usenk’ dan Thatha yang berkolaborasi dalam Pameran Foto ini, seolah-olah bertarung dengan dirinya masing-masing lewat karya-karya foto mereka.

Cholidzain dengan karya fotonya yang berjudul “Apa Kabar Pocong?”, mencoba mendeskripsikan pocong yang tengah diwawancara oleh sejumlah media bak seorang selebritis. Sebuah parodi agaknya langsung terlintas ketika kita melihat foto tersebut. Sesungguhnya Cholidzain mencoba mengungkapkan persepsinya tentang film-film indonesia yang kerap sekali menyuguhkan film horor dengan tokoh pocongnya, tanpa ada sebuah edukasi yang berarti bagi masyarakat yang menontonnya. Selain tentunya mereka hanya sekedar mencoba menakut-nakuti kita dengan film tersebut (meski kadang kita tertawa saat melihatnya).

Lain halnya dengan Doly Harahap yang membuat karya-karya foto bagai sebuah fragmen dengan tema “Mencari Alamat”. Di sini Doly mencoba bermain batin dan mengekplorasi fotografi dengan menggunakan lukisan ibundanya (yang telah tiada). Unsur-unsur yang bersifat personal seperti tangan, kain ulos, kursi dan kamera menjadi ungkapan jiwa yang melankolik. Doly mencoba untuk berdialog dengan almarhum ibu yang sangat dicintainya tersebut dan berusaha untuk menghadirkan kembali figur ibundanya dengan harapan agar kerinduannya dapat terobati. Karena bagi Doly, satu-satunya yang nyata pada saat itu adalah rasa rindu yang membelutnya.
Begitu pula dengan karya-karya foto yang lain, masing-masing mempunyai interpretasi yang unik. Seperti Erwin yang cenderung mempertanyakan Hukum Tuhan dengan karya fotonya “Pilihan”, Irwan yang mengingatkan kita tentang bagaimana manusia yang konsumtif menghabiskan kertas dengan menghabiskan pohon-pohon dengan karya fotonya “Aku dan Sebelum Aku”, Ricky Emon yang memvisualkan pergumulan dirinya melawan rasa malas dengan karya fotonya “Picture of Me”, Ojik yang memaparkan tentang sebuah peperangan abadi dalam batin kita dengan karyanya “Baratayudha”, Thata yang mengusung tema gerak tubuh dalam menyikapi alam dan penderita schizophrenia dengan karyanya “The Harmony of Gesticulation” dan Usenk yang mengkontemplasikan segala perasaan yang kerap melekat dalam dirinya dengan karyanya “Antara Rasa, Estetika dan Presisi”.

Memang bila kita menyimak karya-karya foto yang dipamerkan oleh teman-teman Brigadepoto # ini, agaknya akan selalu ada dialog yang terus mengalir. Ketika karya mereka disuguhkan untuk publik, cara menerjemahkan sebuah kegelisahan masing-masing individu secara visual akan berhadapan dengan sejumlah pertanyaan yang mau tidak mau harus diladeni oleh setiap pemotret. Meski begitu, karya-karya kecil mereka patut diacungi jempol. Karena di tengah hingar bingarnya karya fotografi yang cenderung piktorial, eksploitasi model dan euforia digital, masih ada pelita kecil yang menerangi dan menawarkan sebuah genre fotografi yang lain. Oleh karena itu semangat yang muncul seperti ini perlu mendapat sebuah tempat baru. Agar fotografi dapat menjadi ajang kreativitas mahluk-mahluk yang ingin selalu berubah. Sama seperti tetesan air hujan yang dapat melubangi sebuah batu, tidak dengan kekerasan tetapi dengan tetesan yang sering. Mereka inilah yang suatu saat dapat menjadi pahlawan-pahlawan cahaya yang bukan ‘diwarnai’ melainkan ‘mewarnai’ dalam fotografi.

Salam. Fotografi bergerak!!

Bandung, 23 Maret 2009

Galih Sedayu
Fotografer & Pegiat Foto

Tangis Tegar Karst Citatah Di Antara Debu Keangkuhan Manusia

TANGIS TEGAR KARST CITATAH DI ANTARA DEBU KEANGKUHAN MANUSIA.


Zamannya Tersier kala Miosen Awal (sekitar 30 – 20 juta tahun yang silam). Ketika kawasan alam Karst Citatah yang merupakan perbukitan batu kapur yang membentang dari daerah Tagog Apu, Padalarang, Cipatat, hingga Rajamandala (sekitar km 22 & km 23 dari arah bandung menuju cianjur) terbentuk dari endapan hasil binatang laut dan kini menjadi sebuah memoar keajaiban fenomena alam. Dimana pada kawasan tersebut terdapat berbagai warisan karst yang perlu dilestarikan seperti Pr. Pabeasan dengan tebing 125-nya, Gunung Hawu, Gunung Manik dengan tebing 49-nya, Karang Panganten, Gunung Masigit dan Pr. Pawon dengan guanya yang telah diketahui merupakan situs hunian prasejarah pertama di Jawa Barat.

Jauh sebelumnya kawasan Karst Citatah ini merupakan surga yang hijau nan damai di antara aroma segar rerumputan, kicau burung yang bebas lepas beterbangan serta semilir angin yang sejuk menyibakkan rambut. Hingga suatu saat kawasan ini ‘dieksplorasi’ oleh segelintir manusia yang berlindung di bawah secarik kertas yang bernama sertifikat resmi. Demi seonggok batu kapur sebagai bahan pembuat bangunan semisal gedung-gedung megah yang kerap menghiasi wajah metropolitan, pengolahan batu gamping yang kadang menggunakan bahan peledak itu pun diaminkan. Keberadaan karst sebagai pusaka alam tersebut makin lama semakin hilang tertelan gemuruh ledakan dan mesin-mesin raksasa yang haus akan penaklukan. Surga itu pun kini menjadi surga imajiner di antara debu-debu yang menyesakkan nafas.

Adalah Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), sebuah kelompok kecil independen dan di dalamnya berisi orang-orang sederhana yang sangat peduli terhadap lingkungan alam (khususnya cekungan bandung), yang menggagas sebuah program edukasi visual yaitu Lomba Foto “Selamatkan Karst Citatah’. Program ini selain bertujuan untuk mengarsipkan foto-foto sejarah alam juga bertujuan untuk menyentuh hati masyarakat agar dapat menyuarakan lagu kepedulian terhadap kawasan Karst Citatah yang saat ini semakin mendekati ajal. Melalui media fotografi ini diharapkan agar masyarakat (yang umumnya lebih mudah mencerna sesuatu secara visual ketimbang tulisan) dapat membaca sebuah realitas pahit yang terjadi pada alam tempat mereka berpijak. Dengan harapan bahwa mulai saat ini, bersama-sama kita dapat menyumbangkan segala solusi maupun jawaban dari setiap permasalahan yang timbul akibat kegelisahan Karst Citatah. Meski kita sadar benar bahwa semuanya itu sudah terlambat.

Lomba Foto “Selamatkan Karst Citatah” yang diadakan pada periode bulan November – Desember 2008 yang lalu ini diikuti oleh 68 Peserta dengan jumlah karya foto yang masuk sebanyak 575 karya. Agar masyarakat dapat melihat dan mengapresiasikan hasil-hasil karya lomba foto tersebut, Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) bekerjasama dengan Air Photography Communications mengadakan sebuah Pameran Foto “Selamatkan Karst Citatah” yang berlangsung pada tanggal 18 Februari 2009 s/d 25 Februari 2009 di Museum Geologi Bandung. Sekitar 50 buah karya yang terdiri dari 9 karya foto para pemenang lomba dari semua kategori yaitu Keindahan, Kerusakan dan Human Interest serta beberapa karya foto yang masuk ke dalam nominasi turut dipamerkan kepada publik.

Sebagai sebuah paparan visual, Pameran Foto ini mudah-mudahan dapat menjadi renungan bersama untuk berbuat sesuatu bagi masa depan Karst Citatah. Jangan sampai suatu saat nanti Karst Citatah hanya menjadi totem kelam sejarah alam bangsa kita seperti halnya yang terjadi di Jogyakarta. Sekitar 4 km arah barat kota ini, di antara Kali Progo dan Kali Opak, bukit gunung kapur yang tadinya begitu luas, kini telah sirna dengan hanya menyisakan seonggok batu gamping sebagai simbol kebesaran alam yang pernah mengukir peradaban anak manusia. Walau sepertinya sulit untuk mencegah kerusakan alam yang terjadi di depan pelupuk mata kita, namun semangat optimis itu harus tetap berdenyut dan menular ke dalam hati sanubari semua orang yang memiliki mata jiwa. Dengan cara apapun, melalui media apapun. Untuk itulah fotografi yang terlahir ke bumi sejak tahun 1839 silam, dapat menjadi medium visual bagi lakon fotografer maupun insan fotografi yang memiliki peran tanggung jawab sosial. Yang tanpa lelah merekam imaji-imaji visual, yang tanpa gentar mengabadikan memori-memori visual, yang tanpa beban menyimpan bingkai-bingkai visual. Demi sebuah tujuan besar dari sebuah langkah kecil yang bernama perubahan. Seorang bijak dulu pernah berujar bahwa “Cara terbaik untuk meramalkan masa depan adalah dengan menciptakannya”. Karenanya marilah kita ciptakan masa depan bagi keabadian Karst Citatah. Agar tetap berdiri tegak dari mulai matahari terbit hingga terbenamnya sang surya. Agar selalu menjadi noktah alam yang tak terhapuskan dari tanah air kita. Yang selalu setia menemani dan menjadi monumen alam sejati bagi keberlangsungan hidup anak dan cucu kita selamanya.
Selamatkan Karst Citatah!!
Salam. Fotografi bergerak!!


Galih Sedayu
Fotografer & Pegiat Foto

Tulisan ini diberikan sebagai kata pengantar di Pameran Foto Selamatkan Karst Citatah yang dilaksanakan oleh KRCB pada tanggal 19 s/d 25 Februari 2009 di Museum Geologi Bandung.

Fotografi Cermin Visual Bangsa

Perlu disadari bahwa kontribusi disiplin fotografi dengan segala sifatnya yang realistik, praktis dan informatif bagi sejarah peradaban manusia di muka bumi ini tidaklah menjadi kerdil. Sejak ditemukannya fotografi pada tahun 1839 oleh Louis-Jacques-Mandé Daguerre, eforia penemuan yang revolusioner tersebut mulai terasa menjamur ke seluruh antero dunia. Bahkan 2 tahun setelahnya (1841), Bangsa Indonesia pun turut merasakan kehadiran fotografi tersebut dimana fotografer Jurrian Munich menggunakan media fotografi untuk mendokumentasikan temuan arkeologi, tanah dan masyarakat Hindia Belanda di Batavia pada waktu itu.
Fotografi dengan kemampuan optisnya dapat merekam segala peristiwa aktual yang menjadi lembaran sejarah dan mampu menyampaikan sebuah pesan sehingga dapat menciptakan inspirasi dan makna bagi manusia yang melihat meski secara kasat mata. Hal inilah yang menarik hati PT Pos Indonesia untuk membangun citra perusahaan serta memberikan edukasi positif kepada masyarakat Indonesia melalui fotografi. Melalui sebuah program Lomba Foto Nasional, PT Pos Indonesia turut berperan dalam mewarnai dunia fotografi di Indonesia. Dimana Lomba Foto Nasional Pos Indonesia ini telah berjalan selama 3 tahun terhitung sejak tahun 2006.

Lomba Foto Nasional Pos Indonesia pertama pada tahun 2006 yang bertemakan Wajah Optimisme Pos Indonesia Masa Kini diikuti oleh 204 peserta dan jumlah foto yang masuk sebanyak 817 karya (dengan waktu promosi selama 1,5 bulan). Lomba Foto Pos Indonesia 2006 ini menghadirkan Dewan Juri yaitu Andhika Prasetya (Dosen Fotografi) yang kini telah Almarhum, Dudi Sugandi (Redaktur Foto), Heru Agustianto (Pos Indonesia), Oscar Motuloh (Kurator Foto) & Wismanto (Fotografer). Pada tahun 2007 Pos Indonesia mulai memberikan pencerahan baru pada tema lomba foto yang diusungnya yaitu Etos Kerja Orang Indonesia. Tema ini mendapat respon dan tanggapan positif dari insan fotografi Indonesia, terbukti dengan jumlah karya yang masuk sebanyak 2234 karya foto dari 590 peserta (dengan waktu promosi selama 4 bulan). Dewan Juri Lomba Foto Pos Indonesia 2007 ini terdiri dari Prof.Dr. Bambang Sugiharto (Pakar Filsafat), Dudi Sugandi (Redaktur Foto), Heru Agustianto (Pos Indonesia), Julian Sihombing (Wartawan Foto) dan Oscar Motuloh (Kurator Foto). Tahun 2008, untuk ketiga kalinya Pos Indonesia menyelenggarakan Lomba Foto Nasional dengan tema Bumi Merah Putih Harus Hijau yang diikuti oleh 459 peserta dengan jumlah karya yang masuk sebanyak 1496 (dengan waktu promosi selama 1 bulan). Adapun yang menjadi Dewan Juri Lomba Foto Pos Indonesia 2008 ini adalah Dudi Sugandi (Redaktur Foto), Heru Agustianto (Pos Indonesia), Iwan Abdulrachman (Aktivitis Lingkungan Hidup), Kristupa Saragih (Fotografer) dan Oscar Motuloh (Kurator Foto).

Dari sekian banyak karya foto yang masuk panitia, Dewan Juri harus memilih hasil foto terbaik untuk 13 orang pemenang. Karena penilaian foto didasarkan pada 3 hal utama yaitu kesesuaian tema, orisinalitas ide dan eksekusi, maka proses penjurian yang dilakukan sangatlah selektif dan sangat ketat. Banyak hal unik yang terjadi pada saat penjurian. Misalnya saja ada seorang peserta yang mengirimkan karya foto yang menggambarkan foto diri / individu si pemotret beserta teman-temannya yang tengah berpose bagaikan selebritis (cenderung narsis). Dan lebih uniknya lagi bahwa foto tersebut dilaminasi seperti menu makanan warung tenda yang ada jalanan. Lalu ada juga peserta yang bukan mengirim karya foto, malahan mengirim sepucuk surat yang berisi tentang keinginan yang kuat dari si peserta untuk memenangkan hadiah lomba foto tersebut (yang mungkin mereka anggap sebagai sebuah undian berhadiah) dengan bercerita panjang lebar tentang kesulitan hidup yang dialaminya melalui tulisan yang dibuat. Atau ada juga peserta yang mengirimkan sebuah gambar hasil coretan pinsil warna di atas selembar kertas putih (lagi-lagi bukan mengirimkan karya foto).

Sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawabnya sebagai suatu perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, PT Pos Indonesia mengadakan sebuah Pameran Hasil Lomba Foto Nasional yang telah dibuat sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2008. Pameran ini berisi karya-karya foto terbaik yang menjadi pemenang lomba di setiap tahunnya. Pameran ini dibuat dengan harapan bahwa PT Pos Indonesia mencoba meninggalkan sebuah jejak langkah di Tanah Air ini melalui catatan visual fotografi yang merepresentasikan kearifan bangsa. Maka dari itu ketika muncul sebuah pertanyaan tentang bagaimana cara penyampaian visual yang terbaik kepada masyarakat, pada saat itulah fotografi hadir dan menjawab dengan lantang. Sehingga masyarakat pada akhirnya dapat menyadari bahwa fotografi sebenarnya merupakan salah satu bentuk budaya imaji lewat gambar, yang dewasa ini telah mengisi jutaan buku di seluruh perpustakaan dunia. Tentunya dengan sebuah harapan bahwa fotografi dapat menjadi cermin diri dan dapat menciptakan medium kontemplasi bagi bangsa kita untuk menjadi yang lebih baik.
Salam. Fotografi bergerak!!

Galih Sedayu
Fotografer & Pegiat Foto

Menuju Bandung 200 tahun

Kata Pengantar Pameran Foto Trilogi I: “Bandung Edun”

Menuju Bandung 200 tahun.

Pada tahun 1809 Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels berkata kepada Bupati R.A. Wiranatakoesoema II, “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd” (Usahakan, bila saya datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun). Setahun setelah peristiwa tersebut dimana Daendels menancapkan tongkatnya di tanah Jl Asia Afrika (KM. BD 0.00), lahir lah sebuah Kota yang bernama “Bandung”. Sehingga tanggal 25 September 1810 merupakan tanggal bersejarah bagi kelahiran Kota Bandung karena pada saat itu Bupati R.A. Wiranatakoesoema II (yang dikenal dengan julukan Dalem Kaum), dengan sebuah besluit pemerintahan Hindia Belanda menyatakan Kota Bandong sebagai ibukota Kabupaten Bandong. Sejak saat itulah Kota Bandung berkembang dengan pesat hingga saat ini. Berbagai julukan tentang Kota Bandung pun disandangnya dari mulai Kota Budaya, Kota Kembang, Kota Seniman, Kota Belanja, Kota Kuliner sampai pada Kota Kreatif. Khusus untuk citra Kota Bandung yang menyandang sebutan sebagai Kota Kreatif, dispilin fotografi menjadi salah satu bidang yang termasuk ke dalam citra kreatif tersebut.

Atas dasar pada kesadaran bahwa kecintaan untuk sebuah kota itu perlu ditumbuhkan melalui cara apapun, maka dari itu sekitar 62 pemotret yang mewakili masyarakat fotografi di Kota Bandung menyuguhkan karya-karya fotonya dalam sebuah Pameran Fotografi yang bertajuk “Bandung Edun”. Pameran ini merupakan episode pertama dari 3 buah rangkaian Pameran Foto (Trilogi) yang akan digelar dalam rangka menuju Bandung 200 tahun pada tahun 2010 nanti. Tema Bandung Edun ini diangkat dengan latar belakang imajinasi, kegelisahan maupun paparan yang berbeda-beda dari setiap pemotret dengan berbagai profesi yang digelutinya. Karena itu para pemotret yang terlibat dalam Pameran Foto ini terdiri dari bermacam-macam aliran dengan media kamera yang beragam seperti Jurnalistik, Piktorial, Dokumenter, Kamera Saku, Lomografi, Lubang Jarum, Digital Imaging, Fine Art, Kontemporer, Esai dan lain sebagainya.

Oleh karena itu tidak ada kata salah dan benar dalam memulai ide Pameran Foto Trilogi ini akan tetapi tindakan kecil apa yang harus kita ciptakan untuk berbagi dengan yang lain. Harapannya adalah bahwa para pelaku fotografi sebagai bagian dari masyarakat Kota Bandung, dapat membuat sebuah jejak langkah di jalan kecil yang dilaluinya. Tentunya melalui kreativitas fotografi yang selalu abadi merekam peradaban cahaya di bumi yang semakin gelap ini. Seperti kata seorang bijak, “Tidak terlalu penting apakah kita berjalan di atas air atau melangkah di udara. Keajaiban sejati adalah terus berjalan di atas bumi”. Begitu pula dengan keajaiban fotografi sejati yang selalu terus merekam, merekam dan merekam. Salam.

Fotografi bergerak!!!

Bandung, 23 Desember 2008

galih sedayu
fotografer & pegiat foto
www.galihsedayu.com

Fotografi: Komunikasi & Citra Visual

a writting in photography seminar, "photography: communications & branding" for college students at islam university of bandung

Fotografi : Komunikasi & Citra Visual

Dimulai dengan sebuah citra…
Saat fotografi hadir di tengah keberadaan umat manusia yang selalu haus akan setiap penemuan baru, fotografi yang dibawa oleh Louis-Jacques-Mandĕ Daguerre pada tahun 1839 telah menjadi sebuah displin ilmu yang menciptakan citra dari wajah dan semangat sejarah peradaban manusia. Melalui fotografi, manusia semakin aktif berkomunikasi lewat gambar-gambar visual yang ditimbulkan oleh buah teknologi yang bernama kamera. Dimensi waktu & ruang yang merupakan bagian dari sebuah peristiwa hidup (seolah-olah) dihadirkan kembali menjadi sebuah foto yang sarat dengan sebuah pesan maupun mampu memberi inspirasi kepada insan manusia yang melihatnya. Foto karya Joe Rosenthal misalnya. Foto yang menggambarkan pengibaran bendera star and stripes di puncak Gunung Suribachi pada pertempuran Iwo Jima yang menewaskan hampir 6000 jiwa serdadu AS tersebut, memberikan pesan yang berdampak positif terhadap masyarakat internasional. Bahkan menginspirasi seorang sutradara kenamaan dunia, Clint Eastwood untuk membuat film yang berjudul Flags of Our Father.

Bahkan fotografer sebagai orang yang mengeksekusi segala peristiwa maupun potret manusia di dunia pun mempunyai cerita tersendiri. Fotografer August Sander misalnya. Fotografer jerman yang lahir pada tahun 1876 ini banyak mengabadikan potret masyarakat jerman mulai dari petani,pekerja,pengusaha,militer,wanita,kalangan terpelajar dan kaum pinggiran tanpa membeda-bedakan derajat dan status sosial. Malangnya pada tahun 1934 Sander diberangus Gestapo, sebuah rezim penguasa pada masa perang dunia ke-II. Karya-karya fotonya disita & dimusnahkan. Maka tak heran bila sederet cendekiawan seperti Walter Benjamin, Thomas Mann, Roland Barthes, John Berger & Susan Sontaq banyak mengenang seorang August Sander lewat tulisan-tulisannya.

Saat ini ilmu fotografi memberikan peran yang sangat penting terutama dalam melahirkan berbagai macam profesi yang muncul, entah itu seorang fotografer komersil,pengajar fotografi,wartawan foto,kurator foto,editor foto,kolektor foto, penulis ataupun hanya sekedar menjadi seorang pedagang peralatan fotografi. Namun yang perlu kita sadari adalah apa yang dapat kita perbuat dengan ilmu fotografi tersebut dengan spirit komunikasi & citra visual yang dimilikinya.

Karena dalam fotografi tidak hanya sekedar apa yang kita kuasai, melainkan juga mengenai apa yang kita pelajari…apa yang kita hasilkan…dan apa yang kita bagi. Tentunya demi kehidupan yang lebih bermakna.
Salam. Fotografi bergerak!!!

Bandung, 29 Oktober 2008

galih sedayu
fotografer & pegiat foto
www.galihsedayu.com

Perjalanan lain seorang Andhika Prasetya

a writting as a curator in "another journey of andhika prasetya" photo exhibition.

Kehilangan seseorang di dalam suatu kehidupan selalu menjadi cerita yang haru biru. Seperti yang tengah kita alami saat ini, dunia fotografi kembali kehilangan salah satu tokoh panutan masyarakat foto yang kerap mengisi aktivitas kreatif khususnya di Kota Bandung . Setelah kepergian Bapak RM Soelarko, Bapak Leonardi dan Bapak KC Limarga beberapa tahun silam, kini Kota Bandung kembali kehilangan seorang figur bersahaja yang telah banyak berjasa terutama dalam hal mengajarkan ilmu fotografi. Ignatius Andhika Prasetya, dalam usianya yang ke 40 tahun, ayah dari 2 orang anak ini ternyata begitu cepat dipanggil oleh Sang Khalik ke RibaanNya. Tepat pada hari Minggu Tanggal 10 Agustus 2008 pukul 21.30 WIB, ia secara mendadak wafat di daerah Wangon (Jawa Tengah) dalam perjalanan dari Jogyakarta menuju Bandung setelah mengikuti acara sebuah seminar tentang film. Berawal dari keluhan perutnya yang tiba-tiba sakit sampai akhirnya ia meregang nyawa dalam waktu kurang lebih 20 menit kemudian. Entah karena sebab apa, yang pasti adalah bahwa kita sebagai anak manusia tidak memiliki kuasa apa-apa terhadap sebuah takdir yang bernama Kematian yang sering datang menjemput tanpa mengetuk pintu.

Berbicara tentang Andhika Prasetya, tidak pernah lepas dari imej kebaikan yang selalu menyertainya. Semasa hidupnya, ia adalah seorang pria sederhana yang berprofesi sebagai pengajar fotografi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Widyatama. Kecintaannya pada fotografi dapat dilihat dalam kehidupannya sehari-hari. Putra keduanya yang baru berumur 5 tahun pun diberi nama Sebastian atas dasar kekagumannya pada fotografer kelas dunia, Sebastiao Salgado. Ia juga sangat peduli akan perkembangan sebuah komunitas foto, dimana ia sempat membantu menjadi Kurator Pameran Foto yang digagas oleh Komunitas Pemotret Bandung (KPB) bertajuk “Bandung Sehari” pada tahun 2001 di Bandung Indah Plaza (BIP). Ia pun memiliki pandangan yang luas terhadap sebuah karya foto. Dimana sisi konten, kedalaman dan hal-hal yang bersifat semiotik akan selalu menjadi wacana yang terus digali olehnya.

Kedahagaan akan wawasan baru selalu muncul darinya bak makanan yang diperuntukkan bagi jiwa. Fotografi, film, musik, filsafat, desain, dan seni akan selalu menjadi topik perbincangan yang menarik kala kita sedang berdiskusi dengannya. Citra orang baik, mau tidak mau melekat di dalam dirinya karena begitu banyak pribadi yang telah ia sentuh hatinya. Baik melalui sopan santun, kesabaran, berbagi ilmu dan kecakapan yang dimilikinya. Sampai pada akhir hayatnya pun sepertinya ia tidak mau merepotkan keluarga dan para sahabatnya. Sebelum kepergiannya, ia sempat berpesan kepada istri yang sangat dicintainya bahwa bila kelak ia meninggal, ia tidak ingin jenasahnya dimakamkan atau dikubur di tanah. Ia lebih memilih agar tubuhnya dikremasi dengan alasan bahwa ia tidak mau merepotkan orang banyak.
Pesan yang ia sampaikan tampaknya tertanam di benak keluarganya. Menjelang pelepasan jenasah di ruang kremasi, istri terkasihnya yang bernama Lita dan kedua anaknya pun tampak tegar melepas orang yang sangat mereka cintai tersebut. Itu semua terlihat pada senyuman keharuan sekaligus kebahagiaan yang dipancarkan oleh mereka. Ia seperti membisikkan kepada mereka semua bahwa tidak ada yang perlu ditangiskan karena ia selalu ada dan senantiasa memeluk mereka dengan erat. Meski, Lia putri pertamanya yang berumur 7 tahun sesekali memandangi foto ayahnya dalam bingkai dengan tatapan yang kosong.

Pada saat sebelum proses kremasi, terlihat tubuhnya begitu rapih dan jelas meskipun dengan tubuh yang kaku ketika berada di dalam peti mati. Wajahnya menyinarkan senyum dan optimisme meski dengan kedua bola mata yang terpejam. Benda-benda yang ia sukai ketika masih hidup pun ikut menemani dan disimpan ke dalam peti matinya. Diantaranya sebuah buku yang berjudul “Principles of Visual Anthropology”, sepotong kaos oblong putih yang bolong-bolong, seuntai tas dari anyaman rotan dan sepasang sepatu coklat yang selalu dikenakannya. Memang ia bukanlah seorang Alfred Stieglitz, Walker Evans, Henri Cartier-Bresson, Richard Avedon dan sederet nama fotografer kenamaan lainnya. Ia hanyalah seorang Andhika Prasetya, seorang pemuda asal Jember yang lahir pada Tanggal 2 Mei 1968. Tetapi kehidupannya banyak menginspirasi dan menggugah para sahabat yang pernah dekat dengannya.

Sebagai wujud sebuah penghormatan yang paling dalam dari kami yang mewakili para sahabat, murid dan saudara dari seorang Andhika Prasetya, kami mencoba mengenang kepergian dan mengingat kembali kehadirannya dengan mempersembahkan Pameran Foto yang bertajuk “Another Journey of Andhika Prasetya”. Pameran foto yang bertepatan dengan 40 hari setelah kepergiannya ini merupakan beberapa kumpulan hasil rekaman imajinasi visual beliau dari mulai karya foto terdahulu sampai pada karya foto yang diambil beberapa waktu sebelum beliau wafat. Seperti foto seekor elang yang sedang terbang tinggi dan sendiri di angkasa. Bagi kami, seolah-olah foto tersebut merupakan titisan diri ruh seorang Andhika Prasetya yang meninggalkan jasadnya di bumi untuk berkelana kembali dalam keabadian waktu. Agaknya ia telah siap melangkahkan kakinya ke dalam sebuah kehidupan lain. Karena baginya kebahagiaan itu bukanlah sebuah perhentian akhir, melainkan sebuah perjalanan.

So long to a simple man…our brother, our teacher and our friend.
There is no death.
There’s only a beginning of life.
Enjoy your another journey!

Salam. Fotografi bergerak!!!
Bandung, 11 September 2008

galih sedayu
fotografer & pegiat foto

fotografi sebagai alat kebutuhan masyarakat dunia

a writting in photography seminar, "photography as a visual need of citizen of the world" for maphac (photography club of maranatha christian university).

Fotografi sebagai alat kebutuhan masyarakat dunia

Sudah layak dan sepantasnya lah bahwa kita sebagai bagian dari masyarakat dunia, sangat berterimakasih kepada dua orang tokoh yang bernama Joseph Nicéphore Niépce dan Louis-Jacques-Mandé Daguerre. Yang mana berkat kolaborasi mereka berdua akhirnya manusia diberkahi sebuah penemuan besar pada tahun 1839 yaitu “Fotografi”. Bahkan 2 tahun setelah itu, kita sangat beruntung dapat merasakan kehadiran fotografi tersebut melalui Dr Jurrian Munich yang membawanya ke Indonesia (yang pada saat itu namanya masih Hindia Belanda) pada tahun 1841. Meski sangat disayangkan bahwa peninggalan karya-karya foto Munich relatif tidak ada yang tersisa hingga kini. Setelah Munich, dua orang fotografer asal inggris yang bernama Walter Woodbury dan James Page datang ke Indonesia pada tanggal 18 mei 1857. Atas jasa mereka berdua inilah, tonggak sejarah pendokumentasian di Indonesia diletakkan. Buku-buku fotografi yang mereka buat antara lain Photographers Java, Raja Van Lombok, Eerste Minister Van Buleleng dan Pintoe Ketjil Batavia membuktikan buah karya mereka. Barulah setelah itu semua, muncul fotografer pribumi asal jawa yang bernama Kassian Cephas. Saat itu Kassian yang merupakan anak angkat pasangan Adrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft, bekerja sebagai juru potret keraton dan kesultanan. Lewat kemampuan fotografinya, sekitar 160 panil relief Karmawibhangga Candi Borobudur yang bertutur tentang alur atau gelombang (Whibhangga) dan perbuatan (Karma) kehidupan manusia semasa hidup dan setelah mati diabadikan sekitar tahun 1875. Sampai pada akhirnya, nama-nama fotografer dunia pun bermunculan untuk mengukir sejarah fotografi. Seperti Alfred Stieglitz, Edward Steichen dan Jacob Riis di era tahun 1880-1918. Lalu ada Dada, Margareth Bourke-White dan August Sanders di era tahun 1918-1945. Manuel Alvarez Bravo dan Shomei Tomatsu di era tahun 1945-1975. Dan Sebastiao Salgado di era tahun 1875 sampai sekarang. Hingga saat ini pula, fotografi selalu digunakan untuk merekam segala kejadian dan peristiwa yang mengukir sejarah peradaban manusia di jagat raya ini.

Dewasa ini, fotografi mau tidak mau sudah menjadi alat kebutuhan masyarakat dunia. Sebagai contoh fotografi sebagai alat kebutuhan dokumentasi. Segala acara dari mulai pernikahan, ulang tahun, pesta wisuda, launching produk sebuah perusahaan, dan berbagai acara lainnya pastinya membutuhkan fotografi. Disini fotografi berfungsi sebagai pengarsipan (dokumen) sebuah peristiwa tertentu yang biasanya berkaitan dengan emosi seperti rasa haru, gembira, sukacita dan kesedihan. Dalam konteks ini lepas dari suka atau tidak suka, fotografi sudah menjadi bagian dari sebuah industri ketika berhadapan dengan demand rutin dari masyarakat sesuai dengan kebudayaannya masing-masing.

Lalu kita bisa juga menghubungkan fotografi sebagai alat kebutuhan sejarah. Dalam hal ini fotografi berfungsi sebagai sebuah catatan yang merekam segala kejadian, peristiwa dan momen yang terjadi di planet bumi secara visual. Kita ambil contoh yaitu salah satu karya foto hasil bidikan fotografer O Louis Mazzatenta pada tahun 1983 yang menggambarkan sebuah tengkorak perempuan dengan posisi yang sedang terjatuh dengan dua buah cincin yang melingkar di jarinya serta gelang emas yang tergeletak di sisinya. Foto ini sebenarnya menceritakan tentang akibat sebuah peristiwa alam yang dashyat, dimana pada tahun 79 SM telah terjadi letusan gunung Vesuvius di Italia yang menghancurkan kota Pompei.

Selain itu fotografi dapat digunakan sebagai alat kebutuhan media iklan (advertising). Benetton, sebuah perusahaan global pembuat pakaian dan perlengkapan busana (apparel), sejak tahun 1984 mulai menggunakan jasa seorang fotografer yang bernama Oliviero Toscani dalm hal merancang dan mengarahkan iklan-iklannya. Dengan slogan terkenalnya “United Colors of Benetton”, unsur fotografi menjadi yang paling dominan dalam mengkomunikasikan produknya bagi kepentingan konsumen. Tercatat beberapa iklan Benetton menuai kontroversi publik meski mereka sadar sepenuhnya tentang tujuan foto yang mereka sampaikan. Dari mulai foto seorang pemuda yang tengah sekarat karena penyakit AIDS, foto seorang perempuan berkulit hitam sedang menyusui bayi berkulit putih, foto seorang pendeta dan biarawati yang sedang berciuman sampai pada foto seorang pemuda yahudi memeluk pemuda arab dimana uang memancar dari bola dunia yang sama-sama mereka pegang. Walau bagaimanapun sebuah kreativitas pada akhirnya harus berkompromi terhadap norma dan etika yang diciptakan oleh masyarakat.

Sebenarnya masih banyak lagi hal yang dapat dijadikan contoh mengenai fotografi sebagai alat kebutuhan masyarakat dunia. Semisal fotografi sebagai alat kebutuhan jurnalistik, komersil, kreativitas, media kampanye, publikasi dan lain sebagainya. Yang terpenting adalah bahwa fotografi dengan citra visual yang dimilikinya menjadi mudah dicerna dalam kultur masyarakat kita yang lebih banyak mengkonsumsi produk visual ketimbang tulisan.
Jika Mark Twain pernah berkata : “Bekerjalah bagaikan tak butuh uang. Mencintailah bagaikan tak pernah disakiti. Menarilah bagaikan tak seorang pun sedang menonton”, mungkin kita bisa sedikit meniru nilai filosofis tersebut dengan “Memotretlah bagaikan tak peduli meski dunia berhenti berputar”.

Salam. Fotografi bergerak!!!

Bandung, 5 September 2008

Tulisan ini diberikan kepada mahasiswa/i klub fotografi MAPHAC
Universitas Kristen Maranatha pada tanggal 13 September 2008

galih sedayu
fotografer & pegiat foto

Perspektif Waktu

a writting as a curator in "perspective of time" photo exhibition by brigadepoto community.

Ada sebuah tulisan menarik tentang waktu di dalam buku kedua karangan Neale Donald Walsh yang berjudul Conversations with God. Di dalam buku itu disebutkan bahwa apa yang dikatakan manusia tentang waktu itu sebenarnya tidak ada. Semua hal dan segala peristiwa itu, ada dan terjadi secara serempak. Bahkan pemahaman yang benar tentang waktu adalah bahwa waktu dialami sebagai suatu gerakan dan suatu aliran, bukannya sebagai suatu yang tetap. Kitalah yang sebenarnya bergerak dan yang ada hanyalah apa yang kita sebut sebagai momentum. Bila kita menggali lebih dalam permasalahan tentang waktu, akan selalu ada sejumlah pendapat tentang konsep, pemaknaan, bahkan misteri tentang waktu tersebut. De Ja Vu, sebuah pengalaman diri yang mungkin pernah dialami oleh setiap manusia akan selalu dikaitkan dengan masalah waktu. Sebagian orang yang diberi karunia Six Sense atau indera keenam pun menganggap bahwa mereka dapat melihat kejadian dalam suatu waktu yang belum terjadi. Bahkan seorang sutradara film kenamaan, Steven Spielberg, menuangkan kegelisahannya tentang waktu dengan membuat sebuah karya film yang berjudul Back to the Future. Film yang diperankan oleh aktor Michael J Fox tersebut bercerita tentang manusia yang melakukan perjalanan dengan mesin waktu yang dibuatnya.

Sepertinya segala pertanyaan dan opini tentang waktu itulah yang menyentuh sekelompok mahasiswa Fikom Unpad Bandung yang tergabung dalam Brigadepoto, untuk mewujudkan jerih payah kreativitas mereka dalam bentuk Pameran Foto yang bertajuk Perspektif ‘Waktu’. Bagi mereka, Perspektif ‘Waktu’ adalah cara pandang untuk melihat suatu peristiwa atau obyek dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh emosi mereka pada suasana yang berbeda. Melalui media fotografi yang diperkenalkan ke dunia sejak tahun 1839 oleh Louis Jacques Mande Daguerre, 30 buah karya foto dipamerkan oleh para mahasiswa yang peduli akan perkembangan seni fotografi tersebut. Karya foto yang berjudul “Kuberikan padamu seperangkat alat tebang dan selembar potret diri” hasil rekaman dan proses kreatif seorang Doly Harahap, merupakan bentuk protes dirinya terhadap pembalakan liar yang berlangsung terus menerus sepanjang waktu sekaligus pemaknaan individu tentang pohon dalam salah satu foto serinya yang bertema Apa Kabar Pepohonan?. Lain halnya dengan karya foto hasil bidikan Sandi ‘Usenk’ yang berjudul “tertawa”. Dengan berani ia menampilkan potret humanis dalam sebuah waktu kehidupan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bandung meski obyek yang diambilnya sengaja dibuat blur (out of focus), seperti halnya sifat waktu yang cenderung absurd. Terinspirasi atas penggalan puisi dari salah satu anak yang bersekolah di sana, ia mencoba menyuarakan sebuah seruan agar kita tidak melakukan hal diskriminatif terhadap kaum yang dianggap minoritas dalam masyarakat. Lalu ada pula foto seri karya Ricky Indrawan yang berjudul ketinggian, kecepatan dan kegelapan. Foto-foto tersebut bak sebuah representasi visual tentang perjalanan waktu berikut rasa yang hadir di sana.

Secara keseluruhan semua karya foto yang dipamerkan cukup mewakili genre fotografi yang ada pada umumnya. Dari mulai gaya reportase, konseptual sampai kepada gaya kontemporer, semua karya foto yang dihasilkan cukup mengangkat tema yang diusung dalam pameran foto ini. Hanya saja permasalahan sekarang adalah bagaimana mereka dapat menjawab karya-karya mereka ketika dilemparkan kepada publik yang pastinya mempunyai paradigma dan interpretasi masing-masing dalam melihat karya foto. Karena bukan masalah benar atau salah dalam menilai sebuah karya foto melainkan apakah kita mau meluangkan sedikit waktu untuk mendengar entah itu pesan, harapan dan segala kisah yang dimiliki oleh si pemotret. Maka dari itu tidak jarang sebuah karya foto dapat menginspirasi seseorang untuk berkarya kembali. Seperti halnya seorang fotografer Robert Capa yang terkenal dengan ucapannya yaitu “if your pictures aren’t good enough you’re not close enough”, yang membuat sebuah karya foto pada tahun 1944 tentang pendaratan tentara amerika di pantai normandia. Dimana foto tersebut banyak menginspirasi film-film perang yang dibuat termasuk film Saving Private Ryan (1998) yang dibintangi aktor kondang Tom Hanks. Atau karya seorang artis yang bernama Lady Filmer pada tahun 1864 yang disebut-sebut sebagai kolase foto pertama di dunia yaitu sebuah karya foto dengan cara memotong dan mengatur foto sedemikian rupa serta menambahkan cat air pada foto tersebut. Bagaimanapun ide yang diciptakan olehnya, saat ini banyak ditiru oleh para fotografer baik dalam bidang seni maupun komersil.

Terlepas dari pakem fotografi yang beragam, sebuah karya foto yang baik sejatinya adalah sebuah karya sederhana yang jujur, memuat isi dan pesan, ada ideologi dan dapat menginspirasi orang yang melihatnya untuk berkarya kembali meskipun semuanya itu tidaklah menjadi mutlak. Agaknya langkah kecil teman-teman brigadepoto lewat suguhan pameran foto ini dapat merupakan awal dari sebuah langkah besar. Ide tentang merekam sebuah waktu menjadi sangat menarik karena sebenarnya keberadaan ruang yang kita tempati saat ini pun secara tidak langsung turut direkam. Merekam waktu berarti merekam kehidupan itu sendiri yang tentunya selalu bergerak, berubah dan mengalir. Menghargai waktu artinya sama dengan menghargai kehidupan itu sendiri. Karena melalui fotografi, citra visual tentang segala kejadian dan obyek yang mengisi ruang kehidupan di jagat raya ini dibekukan kembali dengan harapan agar kita selalu mengingat, mengingat dan mengingat.
Salam. Fotografi bergerak!!!

Bandung, 4 September 2008

galih sedayu
fotografer & pegiat foto

Mengenang Andhika Prasetya

a personal writting about a friend, a teacher & a brother (in memory of andhika prasetya).

Dunia fotografi kembali kehilangan salah satu tokoh panutan masyarakat foto yang kerap mengisi aktivitas kreatif khususnya di Kota Bandung . Setelah kepergian Bapak RM Soelarko, Bapak Leonardi dan Bapak KC Limarga beberapa tahun silam, kini Kota Bandung kembali kehilangan seorang figur bersahaja yang telah banyak berjasa terutama dalam hal mengajarkan ilmu fotografi. Ignatius Andhika Prasetya, dalam usianya yang ke 40 tahun, ayah dari 2 orang anak ini ternyata begitu cepat dipanggil oleh Sang Khalik ke RibaanNya. Tepat pada hari Minggu Tanggal 10 Agustus 2008 pukul 21.30 WIB, ia secara mendadak wafat di daerah Wangon (Jawa Tengah) dalam perjalanan dari Jogyakarta menuju Bandung setelah mengikuti acara sebuah seminar tentang film. Berawal dari keluhan perutnya yang tiba-tiba sakit sampai akhirnya ia meregang nyawa dalam waktu kurang lebih 20 menit kemudian. Entah karena sebab apa, yang pasti adalah bahwa kita sebagai anak manusia tidak memiliki kuasa apa-apa terhadap sebuah takdir yang bernama Kematian yang sering datang menjemput tanpa mengetuk pintu.

Semasa hidupnya, ia adalah seorang pria sederhana yang berprofesi sebagai pengajar fotografi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Widyatama. Kecintaannya pada fotografi dapat dilihat dalam kehidupannya sehari-hari. Putra keduanya yang baru berumur 5 tahun pun diberi nama Sebastian atas dasar kekagumannya pada fotografer kelas dunia, Sebastiao Salgado. Buah karyanya yang berupa Pameran Foto Tunggal bertajuk “Art & Motion” pada tahun 2000 di Topas Galeria Hotel merupakan bukti prestasi dan kreativitasnya di bidang fotografi. Salah satu karya fotonya yang berjudul “Angkara Murka” turut dipamerkan di sana. Foto ini memvisualkan Figur Barong yang merupakan sebuah cermin diri dalam pergulatan abadi antara nafsu jahat dengan sifat-sifat kebaikan yang selalu hadir dalam diri kita masing-masing. Ia juga sangat peduli akan perkembangan sebuah komunitas foto, dimana ia sempat membantu menjadi Kurator Pameran Foto yang digagas oleh Komunitas Pemotret Bandung (KPB) bertajuk “Bandung Sehari” pada tahun 2001 di Bandung Indah Plaza (BIP). Ia pun memiliki pandangan yang luas terhadap sebuah karya foto. Dimana sisi konten, kedalaman dan hal-hal yang bersifat semiotik akan selalu menjadi wacana yang terus digali olehnya.

Selain itu ia selalu dahaga akan wawasan baru bak makanan yang diperuntukkan bagi jiwanya. Fotografi, film, musik, filsafat, desain, dan seni akan selalu menjadi topik perbincangan yang menarik kala kita sedang berdiskusi dengannya. Citra orang baik, mau tidak mau melekat di dalam dirinya karena begitu banyak pribadi yang telah ia sentuh hatinya. Baik melalui sopan santun, kesabaran, berbagi ilmu dan kecakapan yang dimilikinya. Sampai pada akhir hayatnya pun sepertinya ia tidak mau merepotkan keluarga dan para sahabatnya. Sebelum kepergiannya, ia sempat berpesan kepada istri yang sangat dicintainya bahwa bila kelak ia meninggal, ia tidak ingin jenasahnya dimakamkan atau dikubur di tanah. Ia lebih memilih agar tubuhnya dikremasi dengan alasan bahwa ia tidak mau merepotkan orang banyak.

Pesan yang ia sampaikan tampaknya tertanam di benak keluarganya. Menjelang pelepasan jenasah di ruang kremasi, istri terkasihnya yang bernama Lita dan kedua anaknya pun tampak tegar melepas orang yang sangat mereka cintai tersebut. Itu semua terlihat pada senyuman keharuan sekaligus kebahagiaan yang dipancarkan oleh mereka. Ia seperti membisikkan kepada mereka semua bahwa tidak ada yang perlu ditangiskan karena ia selalu ada dan senantiasa memeluk mereka dengan erat. Meski, Lia putri pertamanya yang berumur 7 tahun sesekali memandangi foto ayahnya dalam bingkai dengan tatapan yang kosong.

Agaknya, seorang Andhika begitu siap ketika waktunya tiba. Tubuhnya begitu rapih dan jelas meskipun dengan tubuh yang kaku ketika berada di dalam peti mati. Wajahnya menyinarkan senyum dan optimisme meski dengan kedua bola mata yang terpejam. Benda-benda yang ia sukai ketika masih hidup pun ikut menemani dan disimpan ke dalam peti matinya. Diantaranya sebuah buku yang berjudul “Principles of Visual Anthropology”, sepotong kaos oblong putih yang bolong-bolong, seuntai tas dari anyaman rotan dan sepasang sepatu coklat yang selalu dikenakannya. Memang ia bukanlah seorang Alfred Stieglitz, Walker Evans, Henri Cartier-Bresson, Richard Avedon dan sederet nama fotografer kenamaan lainnya. Ia hanyalah seorang Andhika Prasetya, seorang pemuda asal Jember yang lahir pada Tanggal 2 Mei 1968. Tetapi kehidupannya banyak menginspirasi dan menggugah para sahabat yang pernah dekat dengannya. Termasuk saya yang pernah diberikan sebuah buku olehnya yang berjudul “Falsafah Hidup Bahagia” karangan Ki Ageng Suryomentaram. Secara sederhana ia menulis kalimat ini di dalam buku tersebut, “a simple gift, from a simple man, for a simple happy man”. Sejak saat itu pula, kalimat itu membuat saya semakin bersyukur karena kebahagiaan yang selalu saya miliki setiap saat.

Sepertinya kini ia telah siap melangkahkan kakinya ke dalam sebuah perjalanan baru. Karena baginya kebahagiaan itu bukanlah sebuah perhentian akhir, melainkan sebuah perjalanan.

So long to a simple man…a brother, a teacher and a friend o’mine.
There is no death.
There’s only a beginning of life.
Enjoy your another journey!

Salam. Fotografi bergerak!!!

Bandung, 13 Agustus 2008

galih sedayu
pegiat foto

Hidup Persib!!

a writting as a curator in "viva persib!!!" photo exhibition by andri gurnita.

Dunia, Sepakbola dan Persib Bandung.

Keunikan sebuah permainan sepakbola adalah bahwa citra olah raga ini selalu menjadi magnet bagi para penggemarnya di seantero jagat. Di sana kita dapat menemukan beragam episode cerita baik itu sebuah tragedi, euforia, humanisme maupun spirit yang muncul sebagai dampak dari sebuah permainan sederhana namun begitu sangat mendunia. Negara-negara yang kerap menjadi langganan pesta piala dunia seperti Italia yang terkenal dengan disiplin grendel gaya cattenaccio atau the Three Lions Inggris dengan gaya kick & rush nya selalu menjadi tontonan yang wajib bagi para pecinta sepakbola. Kisah-kisah figur pesepakbola di pertandingan piala dunia selalu mewarnai perbincangan di dalam kancah persepakbolaan dunia. Mulai dari kisah kontroversial pemain Argentina Diego Maradona yang terkenal dengan salah satu golnya (seperti) dengan menggunakan tangan sehingga dijuluki Hand of God, kisah tragis seorang pemain sepakbola asal Colombia Pablo Escobar yang tewas mengenaskan diberondong peluru seusai pertandingan piala dunia karena gol bunuh dirinya sampai pada kisah perseteruan kapten kesebelasan prancis Zinedine Zidane yang dikeluarkan wasit gara-gara menanduk dada lawan mainnya Marco Materazzi seorang pemain tim italia.

Bandung, kota yang terkenal dengan sebutan Parijs Van Java pun mempunyai sebuah cerita tersendiri dengan klub sepakbola kebanggaannya yang bernama “Persib”. Persib dengan suporter fanatiknya (Bobotoh) selalu menjadi pusat perhatian di kalangan masyarakat, tidak hanya di Kota Bandung tetapi juga di Jawa Barat. Pada awalnya Persib bernama Bandoeng Inlandsche Voetball Bond (BIVB) yang merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada tahun 1923. Tapi setelah berkiprah beberapa saat BIVB kemudian menghilang. Setelah itu muncul dua perkumpulan lain yaitu Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSBI) dan National Voetball Bond (NVB). Barulah pada tanggal 14 Maret 1933 kedua perkumpulan tersebut bersatu dan melahirkan Persib. Di tahun 2008 ini Persib merayakan hari jadinya yang ke-75.

Segala pesona & fenomena yang hadir di dalam tubuh Persib inilah yang menggelitik seorang fotografer Surat Kabar Pikiran Rakyat Andri Gurnita untuk menyuguhkan 75 karya fotonya dalam sebuah Pameran Foto yang bernama “Hidup Persib!!!”, sepenggal kalimat sederhana namun penuh semangat yang telah lama dikumandangkan oleh ratusan ribu fans Persib sejak dulu. Tanpa ada tendensi apapun, Andri Gurnita secara jujur merekam penggalan-penggalan fotografis yang merepresentasikan realita Persib dengan segala atmosfir yang terhubung dengannya. Lewat beberapa karyanya pula, Andri Gurnita tidak hanya sekedar memaparkan citra foto pemain Persib ketika sedang beraksi di lapangan hijau melainkan pula ada usaha untuk menyampaikan sebuah pesan.

Simak saja foto yang menggambarkan seorang polisi yang tengah menonton sendirian sebuah pertandingan Persib tanpa dihadiri oleh para Bobotoh yang biasanya penuh sesak akibat terkena sangsi hukuman. Secara halus foto tersebut mencerminkan sebuah konsekuwensi sebagai akibat dari ketidakdisiplinan.
Atau foto lain yang melukiskan seorang anak laki-laki kecil yang sedang mengangkat kedua belah tangannya di antara kerumunan Bobotoh Persib sembari memakai topi sebagai simbol dan atribut dari Persib. Seolah foto ini memberikan semangat dan optimisme ke depan bagi para pemain Persib yang sedang berlaga dari seorang generasi cilik penerus mereka.

Setidaknya foto-foto tersebut diharapkan dapat membangun sebuah citra sebagaimana salah satu fungsi fotografi itu sendiri. Dan agaknya citra sepakbola menjadi demikian dalam ketika olah raga ini seharusnya dapat menjadi ajang kreativitas manusia yang terlibat di dalamnya. Hanya saja anak-anak manusia yang mempunyai kegairahan kepada dunia sepakbola tersebut mempunyai caranya masing-masing untuk menciptakan imajinasi yang muncul. Entah itu sebagai wujud menyemangati tim yang sedang berlaga, melampiaskan kekalahan ataupun merayakan sebuah kemenangan.
Di Italia misalnya. Setelah Italia berhasil mengalahkan Prancis dan menjadi juara dunia keempat kalinya pada tahun 2006, desainer Antonio Falangan merayakan kemenangan Italia dengan cara merancang gaun dengan warna bendera Italia untuk para modelnya dan membuat sebuah acara fashion show dengan tema AltaRoma Fashion. Lalu ada juga seniman Gianni Schiumarini yang berkarya di ajang festival karya pasir ‘Sandsation’ di Berlin pada piala dunia 2006 sehingga karyanya yang berjudul Fighting The Ball mendapatkan sebuah penghargaan.

Agaknya seorang Andri Gurnita dengan bijak memilih untuk memamerkan foto-foto Persib hasil jepretannya sebagai wujud totalitas, perayaan dan kecintaannya terhadap Persib. Dengan harapan bahwa pelatih, wasit, pemain, bobotoh Persib dan masyarakat Jawa Barat dapat berdialog dengan hasil-hasil karyanya. Karena walau bagaimanapun salah satu esensi sebuah karya foto yang berguna adalah bahwa foto tersebut dapat dilihat dan dibagikan kepada khalayak umum. Sehingga imaji-imaji visual tersebut dapat menjadi catatan sejarah khususnya bagi perjalanan Persib ke depan. Ketika sebuah peperangan hanya mampu memisahkan umat manusia dengan sia-sia di dunia, sebuah pertandingan sepakbola justru diharapkan menjadi simbol pemersatu bangsa di dunia. Agaknya, sudah layak dan sepantasnya lah Persib pun dapat menjadi alat pemersatu masyarakat Bandung dan Jawa Barat. Hidup Persib!!

Salam. Fotografi bergerak!!!

Bandung, 9 Juni 2008

galih sedayu
Pegiat foto

Minggu, 29 Maret 2009

foto cerita

bandung, 19 Mei 2008
Materi tulisan yang diberikan di acara “photo story” Clinique
gedung PWI jalan asia afrika bandung


Photo Story

Ketika kita menyimak sebuah film, pada akhir cerita kita dapat memberikan kesimpulan tentang inti ataupun isi cerita yang terkandung di dalamnya. Misalnya film arahan sutradara Roberto Begnini yang berjudul Life is Beautiful yang menyuarakan sebuah optimisme dalam kehidupan, film Brave Heart yang disutradarai Mel Gibson yang mengusung nilai-nilai patriotisme, dan film Kill Bill karya Quentin Tarantino (yang menyukai sesuatu yang berdarah-darah) berisi tentang cerita balas dendam. Lalu yang menarik lagi adalah sebuah film yang kaya dengan imajinasi & kedalaman yang terdiri dari 8 episode cerita tentang dampak dari sebuah peperangan serta harmonisasi antara manusia dengan alamnya. Film ini berjudul Dreams yang dibuat oleh Sutradara Legendaris asal Jepang, Akira Kurosawa. Dan masih banyak lagi film-film yang mencoba memberikan pesan yang disampaikan melalui sebuah cerita.

Sama halnya dengan sebuah foto. Berbicara tentang foto berarti kita berbicara tentang citra. Pemaknaan sebuah citra foto dapat digali melalui cerita yang hadir dalam foto tersebut. Seorang James Nachtwey (War Photographer) tidak hanya memotret peristiwa yang klimaks dalam konteks peristiwa yang menjadi isu utama di suatu Negara misalnya. Ketika dia datang ke Indonesia, Nachtwey mulai memotret secara berseri rangkaian peristiwa yang berkait dan relevan dengan isu utama yang ada saat itu. Dari mulai demo mahasiswa, peristiwa kerusuhan yang terjadi sampai dampak yang ditimbulkan dari krisis ekonomi yang menimpa Negara kita dimana dia memotret beberapa orang cacat pada sebuah perkampungan miskin yang ada di pinggiran Kota Jakarta.

Ketika sebuah foto single (tunggal) masih belum secara jelas dapat menceritakan segala pesan yang ingin disampaikan oleh si pemotret maupun pemaknaan obyek yang direkam, saat itulah sebuah Photo Story dibutuhkan. Pada dasarnya sebuah Photo Story merupakan rangkaian,episode & kumpulan foto-foto yang saling terkait dan memiliki benang merah sehingga secara keseluruhan cerita yang ditampilkan melalui foto-foto tersebut menjadi utuh.

Sebagai contoh ketika saya memotret seorang pelukis berbakat yang bernama Rosid di rumahnya. Saya melihat bahwa sebuah benda yang bernama Pinsil menjadi alat utama sekaligus roh bagi seorang Rosid. Karena dengan pinsil tersebut dia melukiskan gambarnya pada media apapun. Sehingga ketertarikan saya tidak hanya pada figur Rosid semata, tetapi hal-hal unik yang ada di atmosfir rumah maupun studio lukisnya. Seperti ketika saya menengok ke atas atap dinding rumahnya, di sana terlihat motif-motif pinsil menghiasi dinding atap rumahnya. Lalu tepat di tengah-tengah ruangan tamu, Pinsil Kayu ukuran besar yang hampir menyerupai batang pohon diletakkan tegak dimana ujung pensil tersebut mengarah ke atap dinding rumahnya (yang juga) bermotif pinsil. Dengan begitu saya melihat betapa besar kecintaan dia terhadap profesi yang dijalankan. Sangatlah wajar ketika harga sebuah lukisan yang dibuatnya dijual dengan harga puluhan juta rupiah.

Membuat sebuah Photo Story ada baiknya dimulai dengan sebuah wacana atau ide. Ada baiknya ketika ide tersebut related dengan isu-isu yang hangat atau berhubungan dengan peristiwa yang aktual. Setelah itu mulailah untuk mengumpulkan nara sumber dan melakukan personal approach atau pendekatan secara intens terhadap obyek yang ingin difoto. Saat itulah kita dituntut untuk tidak berpikir secara teknis melainkan bagaimana agar foto yang kita buat mengalir dan menyatu dengan obyek yang kita rekam sehingga antara ide dan tema yang dibawa menjadi sesuai dengan eksekusi yang kita ambil. Oleh karena itu, proses yang menurut saya paling penting sebelum kita memencet tombol rana kamera adalah mendengar,mendengar dan mendengar.

Pada tahun 1992, Ron Fricke, seorang fotografer yang juga seorang sinematografer membuat sebuah film dokumenter yang berjudul Baraka. Dalam film ini sama sekali tidak ada dialog, yang ada hanyalah cuplikan-cuplikan gambar hidup yang lebih menyerupai karya fotografis tentang alam dan keterlibatan manusia di dalamnya. Dalam film yang menggunakan kamera 70 mm ini, Ron Fricke mengajak kita untuk berkontemplasi secara visual agar setidaknya kita tergugah dan mulai berbuat sesuatu yang berarti bagi alam ini. Karena sudah sejak dulu, cerita tentang insan manusia yang peduli akan kehidupan lebih baik dikumandangkan ke penghujung bumi. Seperti Penyanyi Legendaris yang ditembak mati oleh penggemarnya sendiri, John Lennon yang mencoba menyuarakan ajakan damai & bersatunya dunia lewat lagunya Imagine.

Tentunya, melalui citra fotografi kita dapat berbuat hal yang serupa. Dengan sebuah Photo Story, kita dapat menyuguhkan realita hidup yang kini terjadi dan menyampaikan pesan-pesan yang berguna bagi masa depan. Karena sebuah foto, sesungguhnya tidak pernah lekang oleh masa. Dia akan terus hadir & berbicara ketika mulut tidak bisa berkata apa-apa.
Maka dari itu teruslah bermain dengan cahaya.
Salam. Fotografi bergerak!!!

wanita, wanita & wanita

Kata Pengantar
Pameran Foto “Wanita,wanita & wanita”…dulu dapur kini karir
bandung, 14 Mei 2008


Sedari dulu..cerita tentang mahluk wanita dengan segala kelebihan dan kekurangannya selalu menjadi medan magnet dan terus menghiasi wajah-wajah media di dunia. Dari mulai kisah kepahlawanan Joan of Arc, wanita asal perancis yang dibakar hidup-hidup pada usia 19 tahun karena menjadi pemberontak..kisah tragis Princess of Wales, Putri Diana yang meninggal karena kecelakaan mobil yang dialaminya pada tahun 1997 sampai pada kisah eksentrik fotografer wanita legendaris Dianne Arbus yang difilmkan dengan judul Fur dan dimainkan oleh aktris cantik Nicole Kidman.

Kisah-kisah itu menandakan bagaimana wanita dengan manifestasi latar belakang yang berbeda dapat memberikan warna tersendiri bagi sebuah kehidupan di dunia. Pandangan tentang figur wanita yang lemah, yang selalu di bawah, yang mudah ditindas lambat laun mulai pupus seiring dengan berjuta prestasi yang dihasilkan oleh para kaum hawa. Saat ini (bahkan) mereka mengisi tempat-tempat yang konon dianggap hanya boleh ditempati oleh kaum adam saja. Kita bisa buktikan bahwa saat ini betapa banyak pekerjaan seperti supir, satpam, kuli bangunan, dll dengan segala citranya yang macho ada yang dilakoni oleh seorang wanita. Di Indonesia kita boleh berbangga bahwa seorang Kartini menjadi pelopor dan menepis semua persepsi tentang gender tersebut. Karenanya, tidaklah pantas bila di jaman yang kita jalani sekarang masih terdapat opini yang diaminkan bahwa wanita itu harus kerja di dapur dan biarkan lelaki mencari nafkah.

Berangkat dari semangat itulah, sekelompok mahasiswa/i universitas padjajaran bandung yang tergabung dalam klub fotografi kampus SPEKTRUM, mencoba mengusung isu wanita tersebut ke permukaan melalui Pameran Foto “Wanita,wanita & wanita” dengan tema Dulu Dapur Kini Karir. Karya-karya mereka setidaknya mewakili sejumlah realita & harapan untuk ke depan, bagaimana wanita dapat lebih berperan dalam menyikapi tantangan hidup yang semakin keras. Simak saja foto reportase karya fierly yang menggambarkan seorang wanita yang bertugas meliput acara demo salah satu ormas islam. Di sana kita dapat menyimak bahwa saat ini wanita bebas menentukan kegiatan atau profesi yang dipilihnya meski mereka sadar benar bahwa ada resiko yang menantang sebagai konsekuwensi terhadap pekerjaan yang mereka ambil. Lalu ada juga foto yang menangkap semiotika waktu yang hadir seperti yang dibuat oleh cha cha dengan fotonya yang berjudul ‘dulu,kini,nanti’. Meski pesan yang timbul pada karya foto ini masih belum begitu mengalir tetapi interpretasi nya dapat merupakan sebuah harapan baru sebagai aksi tindak lanjut generasi kini dengan mengambil nilai-nilai kearifan generasi dulu.

Pada akhirnya kita akan mengakui betapa hebatnya wanita-wanita yang terus lahir di dunia ini. Bila kita berkontemplasi ke belakang, hadirnya manusia ke bumi ini adalah berkat keajaiban Sang Pencipta melalui tubuh wanita. Sehingga mahluk wanita yang didesain dengan bentuk tubuh sedemikian rupa memang merupakan karya yang nyaris sempurna.

Ketika foto yang diambil oleh fotografer Nick Ut yaitu foto seorang gadis cilik berumur 9 tahun bernama Kim Phuc yang tengah berlari sambil menangis kesakitan karena terkena bom napalm pada perang Vietnam tahun 1972 menjadi bahan perbincangan di seantero jagat, mau tidak mau kita bercermin terhadap ketegaran seorang wanita dalam berjuang melawan akibat yang ditimbulkan oleh sebuah peperangan. Kim Phuc membuktikan itu semua sehingga dia mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas York di Toronto atas jasa-jasanya membantu anak-anak para korban perang di seluruh dunia.

Pada intinya fotografi secara sadar maupun tidak, selalu memberikan kontribusinya kepada sejarah peradaban dunia dalam konteks citra seorang wanita. Fotografi menjadi media perantara antara yang hidup dan yang mati. Karena sesuatu yang sudah mati dapat dihidupkan kembali melalui pencintraan sebuah karya foto.
Satu hal lagi, sebagian orang berpendapat bahwa wanita adalah sumber inspirasi. Seperti kata seorang fotografer dunia Man Ray dalam akhir film dokumenternya yang berjudul The Prophet to Avant Garde bahwa satu hal yang membuat dia terus bertahan hidup untuk memotret adalah mereka…WANITA.
Salam. Fotografi bergerak!!!

foto seri potret

Tulisan yang diberikan pada Short Portrait Series Clinique di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bandung tanggal 4 Mei 2008.

Berbicara tentang foto potret, sesungguhnya adalah membicarakan genre foto yang tak pernah lekang dimakan oleh jaman. Foto potret selalu dapat menempatkan dirinya di setiap masa yang berbeda. Apalagi dengan keunikan fotografi yang dapat menciptakan sebuah pencitraan, foto potret yang sangat sederhana sekalipun dapat memberikan sebuah imej visual tersendiri bagai ruh yang keluar dari foto tersebut. Fotografer dunia kenamaan macam Richard Avedon membuktikan kecintaannya pada foto potret dengan berkeliling mengabadikan masyarakat pinggiran AS sambil membawa backdrop putih di bak belakang mobilnya. Bahkan foto potret seorang tokoh pemberontak Ernesto Guevara yang diabadikan oleh Alberto Korda, hingga kini menjadi icon di kalangan anak muda yang berjiwa revolusioner. Belum lagi kita patut berbangga bahwa seorang fotografer Indonesia, Indra Leonardi berhasil membukukan karya-karya foto potretnya yang berjudul Indonesian Portraits. Indra Leonardi dengan gayanya yang klasik secara unik berhasil memainkan cahaya dengan merekam tokoh-tokoh kebanggaan Indonesia seperti sutradara Garin Nugroho, penyanyi wanita Titi DJ, petinju Chris John, pakar sejarah Des Alwi, penulis lagu Gesang dan masih banyak lagi.

Sebenarnya membuat sebuah foto potret tidaklah sesederhana apa yang kita pikirkan. Karena secara tidak disadari, saat kita merekam foto potret seseorang berarti kita mentransfer sejumlah energi yang kita miliki kepada orang yang kita foto. Oleh karenanya kita sering mendengar kalimat yang berbunyi “foto itu berbicara” meski kita semua seharusnya tahu bahwa diri kitalah yang sebenarnya berbicara lewat sebuah foto yang kita ciptakan. Oleh karena itu langkah awal sebelum kita membuat sebuah karya foto potret adalah kita harus mengenal terlebih dahulu orang yang akan kita potret. Setelah itu adalah mendengar, suatu proses yang sangat penting dan sering dilupakan oleh seorang fotografer. Dan langkah selanjutnya adalah menghargai orang yang akan kita abadikan. Barulah kita bisa memulai untuk memotret orang tersebut.

Bayangkan ketika kita mendapatkan sebuah karya foto potret seseorang lalu kita bercerita kepada orang lain tentang foto tersebut tetapi bukan dengan memaparkan bagaimana sudut pengambilannya, teknik pencahayaannya, komposisi pemotretannya melainkan kita bercerita tentang segala sesuatu yang kita dapatkan dari proses mengenal, mendengar & menghargai tersebut. Misalnya saja kita dapat menjelaskan bahwa foto potret yang kita ambil adalah seorang pria bernama Lulus UJianto, anak keturunan seorang raja banten yang bekerja sebagai buruh bangunan dan mampu memberi nafkah ke 2 orang anaknya yang kembar berusia 5 tahun dan tinggal bersama di sebuah gubuk mereka yang sederhana. Sehingga siapapun orang yang melihat foto tersebut akan menyimak dan menaruh perhatian tertentu karena ada sebuah cerita di balik foto tersebut.

Mengapa foto potret hasil bidikan fotografer National Geographic Steve McCurry yang terkenal dengan nama “Afghan Girl” menjadi begitu menarik perhatian? Karena foto tersebut tidak sekedar melukiskan seorang gadis kecil afghan yang bernama Shabat Gula tetapi ada sebuah cerita humanis di dalamnya. Dimana kita ketahui bersama bahwa Steve McCurry melakukan perjalanan kembali ke Afghanistan setelah 17 tahun lamanya hanya untuk mencari gadis tersebut.

Short Portrait Series adalah sebuah istilah yang saya buat untuk menamakan sejumlah karya foto potret yang disajikan bukan sebagai foto single/tunggal, tetapi merupakan rangkaian foto yang mempunyai keterkaitan satu sama lain baik melalui eksplorasi tokoh (figur) yang kita ambil maupun melalui benang merah ide yang hadir di dalamnya. Seperti foto seri potret seorang pakar filsafat Prof.Dr.Bambang Sugiharto yang saya abadikan di ruang kerjanya, foto-foto itu lebih mengusung tokoh sentral seorang Bambang Sugiharto. Lain halnya foto seri potret sebuah penari grup terkenal asal bandung Wanna Be Dancer, dua orang anak kembar Vina & Vani dan seorang pejabat polisi di atas mobil jeepnya, semuanya mencerminkan tentang ide gerak (move) hingga saya memberikan istilah Move Portrait Series.
Harapannya, sebuah Short Portrait Series lebih menawarkan sebuah wacana yang lebih luas ketimbang bila kita hanya melihat sebuah karya foto tunggal yang berdiri sendiri. Sehingga si penikmat foto dapat mentafsirkan sendiri baik dari segi konten,nilai & esensi foto potret tersebut.
Short Portrait Series juga dapat membuat si pemotret menggali lebih dalam dan merealisasikan ide-ide yang muncul sehingga dapat dituangkan ke dalam karya-karya foto potretnya. Layaknya kita menonton sebuah film, seolah-olah Short Portrait Series memiliki alpha & omega nya sendiri. Kita dapat melihat alur, spirit yang ada di dalamnya, kedalaman tokoh atau orang yang kita foto dan lain sebagainya.

Tetapi pada intinya adalah kita dapat menciptakan foto potret pada kehidupan sehari-hari. Bila Leopold Stokowski pernah berujar bahwa “Seorang Pelukis melukiskan karyanya pada sebuah kanvas dan seorang musisi melukiskan karyanya dalam kesunyian”, menurut saya “Seorang fotografer sejati melukiskan karyanya pada kehidupan”.
Salam. Fotografi bergerak!!!

galih sedayu
Pegiat foto

pendidikan negeri dongeng

Kata Pengantar Pameran Foto “Pendidikan Negeri Dongeng” yang digagas oleh HIMA TEKPEN Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Ketika salah satu program pemerintah kita yang mencanangkan sebuah tujuan mulia yaitu Ikut Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, kata ‘Pendidikan’ menjadi sesuatu yang paling esensial yang dapat dijadikan landasan & media bagi tercapainya cita-cita bangsa tersebut. Agaknya, harapan tentang manisnya buah pendidikan yang dapat dimakan oleh bangsa kita secara lebih merata menjadi sebuah khayalan semu bagi sebagian besar anak bangsa ini.

Ditulisnya novel “Laskar Pelangi” oleh Andrea Hirata yang bercerita tentang kisah nyata wajah muram pendidikan di daerah Belitong melalui cerita humanisme 10 orang anak SD Muhammadiyah yang miskin, mau tidak mau membuka mata kita bahwa masalah pendidikan bagaikan sebuah barang mewah yang tidak semua anak negeri ini dapat menikmatinya. Begitu pula satir tentang pendidikan lewat film “Denias” yang bercerita tentang kisah nyata perjuangan seorang anak di negeri papua, dengan kegigihannya serta dengan bantuan seorang tentara baik hati (diperankan oleh aktor Ari Sihasale), denias dapat berhasil memperoleh sebuah pendidikan yang layak baginya.

Semua kisah nyata tentang pendidikan di tanah air yang diangkat menjadi sebuah novel maupun film tersebut adalah cermin tentang dunia pendidikan yang nyata & aktual di bumi pertiwi ini. Oleh karena itu, pendidikan dirasakan sebagai sebuah mimpi di Negeri Dongeng yang kadang hanya bisa diimajinasikan oleh mereka yang belum sempat mengenyamnya. Berdasarkan kesadaran kolektif tersebut, Pameran Foto “Pendidikan Negeri Dongeng” yang digagas oleh Himpunan Mahasiswa Teknologi Pendidikan & PERFORMA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mencoba memaparkan kegelisahan tersebut melalui visual foto. Sekitar 50 karya fotografi yang berasal dari beberapa perkumpulan foto kampus yang ada di kota bandung, menjadi saksi hidup tentang potret pendidikan yang ada saat ini.

Karena keunikan fotografi adalah dapat merekam sebuah citra, dengan melihat karya-karya foto yang dipamerkan ini masyarakat dapat menilai dengan bebas dan menginterpretasikannya masing-masing tentang masalah pendidikan tersebut. Walaupun harus diakui bahwa pameran foto ini masih merupakan langkah & gerakan kecil dari beberapa masyarakat pendidikan yang mau peduli. Karena walau bagaimanapun, sesuatu yang besar itu terjadi bila kita mengerjakan sesuatu yang kecil dengan benar. Harapan nya adalah agar setidaknya kita sadar bahwa realitas maupun mimpi itu ada.

Misalnya saja foto yang menggambarkan tentang dua orang anak jalanan yang tengah tersenyum sambil memegang lem aibon karya Yusviza Ahmad. Betapapun kita dapat melihat bagaimana jadinya masa depan yang dimiliki oleh mereka ketika definisi kebahagiaan menurutnya adalah dengan mengisap lem aibon tersebut. Lain halnya ketika kita melihat karya-karya foto lain yang menyuguhkan keceriaan & kebahagiaan yang memang sepatutnya mereka dapatkan. Sehingga keterkaitan foto yang muncul menjadi paradoks, terlebih bila senyum yang terpancar dari wajah anak-anak tersebut dianalogikan dengan nilai kebahagiaan.

Setidaknya pameran foto ini dapat menstimulan masyarakat pendidikan yang lain untuk berbuat serupa sehingga beban tanggung jawab tersebut dapat diemban secara bersama meskipun mungkin dimulai dengan sebuah mimpi, Pendidikan Negeri Dongeng. Seperti kata Gloria Steinem,”Tanpa adanya lompatan imajinasi ataupun impian, kamu akan kehilangan kemungkinan yang mendebarkan. Impian adalah bentuk dari perencanaan. Salam. Fotografi Bergerak!!!

-g.sedayu
bandung, 29 April 2008

fotografi sebagai alat komunikasi visual

Materi ini diberikan pada acara workshop cyber public relations di be mall pada tanggal 12 April 2008.

Fotografi sebagai alat komunikasi visual

Terhitung 2 tahun setelah fotografi ditemukan oleh Louis Jacques Mande Daguerre pada tahun 1839, atas permintaan pemerintah kolonial belanda fotografi sudah dibawa ke tanah air tepatnya di Bandar Batavia oleh seorang fotografer yang bernama Dr Jurriaan Munnich. Setelah itu di Indonesia muncul 2 orang fotografer asal inggris, Walter Woodbury dan James Page pada tahun 1857 yang menjadikan titik sejarah foto dokumentasi seluruh keadaan di tanah air.

Kemudian muncul fotografer orang jawa pertama, Kassian Cephas yang mendokumentasikan relief-relief tentang ajaran Maha Karmawibhangga di Candi Borubudur. Sejak saat itu fotografi di Indonesia berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi yang terus dikembangkan oleh manusia. Apalagi di saat ini dengan munculnya era digital, fotografi semakin menjamur dan tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan fotografer saja tetapi juga masyarakat umum termasuk orang-orang yang berkecimpung dalam dunia Public Relations (PR).

Salah satu kelebihan fotografi adalah mampu merekam peristiwa yang aktual dan membentuk sebuah citra di dalamnya. Sehingga fotografi dapat berfungsi sebagai alat komunikasi visual dimana oleh orang-orang PR dapat digunakan sebagai bahan publisitas yang bermanfaat.

Mungkin kita masih ingat sebuah peristiwa menarik di dunia tinju dimana Mike Tyson menggigit telinga petinju Evander Hollyfield. Kala itu, foto yang menggambarkan kejadian tersebut dijadikan bahan publisitas secara besar-besaran di seluruh dunia. Bahkan ada beberapa foto yang dijadikan desain t-shirt serta merchandise lainnya untuk keperluan komersil.

Sebuah jargon dari produk sampoo sunsilk yang berbunyi ‘Rambutnya, Kisah Hidupnya’ tetap saja mau tidak mau menggunakan imej foto Marlyn Monroe & Madonna sebagai simbol ataupun representasi dari tokoh-tokoh yang digambarkan memiliki kisah hidup yang bermakna. PR yang bersifat hidup,verbal,murah dan menjangkau seseorang dapat dibantu dengan visual fotografi yang berfungsi menguatkan produk tertentu.

Fotografi juga dapat menciptakan dan memvisualkan secara jelas buah pikiran dan tulisan-tulisan yang dibuat oleh seorang PR ketika membuat artikel-artikel tertentu. Misalnya saja ketika kita ditugaskan untuk menulis artikel tentang Dick Fosbury, seorang atlet lompat tinggi yang tidak begitu terkenal tetapi gaya lompatannya yang membelakangi palang (Fosbury Flop) masih digunakan hingga sekarang. Kehadiran foto di sini dapat menegaskan artikel yang telah dibuat.
Karena sifatnya yang mudah dicerna & abadi, sudah layak dan sepantasnyalah seorang PR perlu dibekali oleh ilmu fotografi.

-Galih Sedayu,2008

what is queer?

Kata Pengantar yang diberikan pada saat What is Queer Photo Exhibition di CCF Gallery pada tanggal 18 Februari 2008.

Pengantar
What is Queer Photo Exhibition

Kaum minoritas manapun di jagad raya ini selalu mempunyai asa dan mimpi yang sama yaitu sebuah kebebasan & pengakuan dari manusia lain yang hidup berdampingan dengan mereka. Spirit tous les hommes egaux et libre (manusia dilahirkan sama dan merdeka) menjadi landasan untuk menegakkan bendera kesetaraan yang selalu mereka perjuangkan.
Kaum queer yang di jaman sekarang ini dapat diartikan sekelompok orang gay, lesbian, biseksual, transeksual & minoritas seksual lainnya menjadi salah satu kaum minoritas yang mengusung nilai-nilai kebebasan tersebut meski tentunya ada keterbatasan.

Fotografi dengan sifatnya yang mampu merekam secara visual baik dengan simbol, kesaksian hidup, dan fenomena yang hadir di dalamnya menjadikan sebuah isu dapat terangkat ke permukaan sehingga menjelaskan apa yang sebelumnya masih absurd atau belum dimengerti sedikitpun.
Berangkat dari kesadaran kolektif tersebut, queer menjadi isu yang coba diketengahkan dan diinterpretasikan melalui medium fotografi.

Dalam sebuah pameran fotografi yang bertajuk “What is Queer?”, sekelompok anak muda dengan latar belakang yang beragam mencoba menyeruakkan apa yang selama ini disebut sebagai queer. Mereka mencoba mentafsirkan definisi queer menurut persepsi & perspektif individu yang dituangkan kedalam karya-karya fotografi sebanyak 21 buah.

Seperti terlihat pada karya foto yang berjudul “Topeng” karya Teddy Purnama. Queer diibaratkan sebuah topeng (yang digambarkan dari sebuah daun kering berwarna coklat) yang dikenakan sebagai upaya untuk menyembunyikan identitas diri si empunya topeng. Dimana topeng tersebut tergeletak begitu saja di jalan aspal yang berlubang, sehingga foto tersebut seolah-olah menjadi berbunyi seperti sekelompok orang tertentu yang mencoba menyembunyikan jati diri dari lingkungannya tetapi tetap terinjak-injak.

Tafsiran lain tentang queer dapat kita lihat pada foto seri yang berjudul “I am her” dan “I am him” karya Ferancis. Si pemotret mencoba mengusung sebuah permasalahan krisis jati diri yang pada umumnya dimiliki oleh kaum queer, seorang insan manusia yang merasa menjadi laki-laki tetapi terjebak di dalam tubuh wanita begitupun sebaliknya seorang insan manusia yang merasa dirinya wanita tetapi terjebak di dalam tubuh seorang laki-laki. Alhasil boneka mainan bermerk lego tersebut menjadi representatif simbol secara fotografis untuk mendeskripsikan kegelisahan kaum queer tersebut. Isu ini juga sempat diangkat ke layar kaca melalui film yang berjudul “Boys don’t cry’ yang dilakoni aktris Hilary Swank.

Lain halnya dengan semiotik yang ditampilkan oleh Arie melalui karya fotonya yang menyuguhkan sebuah pagar berduri dengan latar belakang langit biru berawan sebagai bentuk pernyataan ‘menutup diri’ maupun ‘diri yang ditutup’ dari dunia luar yang dilakukan oleh kaum queer tersebut.

Permasalahan-permasalahan yang dialami oleh kaum minoritas tersebut tidak akan pernah selesai selama dunia dan manusia yang hidup di dalamnya belum bisa ‘menerima’ kehadiran mereka yang (dianggap) berbeda.

Mengutip kalimat yang diucapkan oleh Eckhart Tolle dalam bukunya yang berjudul The Power of Now, bahwa kita berada di sini agar tujuan Ilahi di alam semesta menjadi terungkap. Itulah sebabnya mengapa kita semua (sebagai manusia) begitu berarti.
Dan fotografi akan selalu merekam pemaknaan & semua kesaksian itu dengan penuh kesadaran.
Fotografi bergerak!!

-g.sedayu (2008)

24 jam di dusun banceuy

Materi tulisan 24 Jam di Dusun Banceuy ini diberikan pada Presentasi Karya & Diskusi Fotografi bersama Prof.Dr.Bambang Sugiharto,Aat Suratin & Hari Pochang yang merupakan rangkaian acara Pameran Fotografi 24 Jam Beda Profesi bertempat di Galeri Space59 Jalan Merak No 2 Bandung.

24 Jam di Dusun Banceuy

Dusun Banceuy terletak di Desa Sanca Kecamatan Jalan Cagak yaitu sekitar 20 km dari Kota Subang. Saat Tahun Baru Muharam, masyarakat dusun banceuy menggelar acara helaran yaitu sebuah pesta adat dengan mengedepankan nilai-nilai tradisional yang mereka miliki seperti bajidoran, kaulinan budak, wayang golek, tutunggulan, kentongan & gembyung. Helaran ini merupakan wujud syukur dan terimakasih atas hasil panen yang mereka dapatkan kepada dewi kesuburan (dewi sri) & Sang Pecipta. Sebenarnya acara helaran ini hampir ditinggalkan pada tahun 1999. Tetapi pada tahun 2000 dengan bantuan pemerintah daerah subang, helaran ini kembali diadakan setiap tahunnya dan dusun banceuy dijadikan sebuah desa wisata.

Malam sebelum acara helaran dimulai, masyarakat dusun banceuy berkumpul di bale desa untuk mengadakan ritual doa keselamatan sembari memainkan kesenian tradisi yang bernama ‘gembyung’, sebuah alunan musik dengan diiringi kendang sembari melantunkan lagu dalam bahasa sunda yang isinya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhamad. Para musisi adat yang memainkan gembyung ini bernama ‘Gembyung Pusaka Wargi Saluyu pimpinan Abah Ukar’.

Sambil membakar sesaji kemenyan & makanan khas dusun banceuy, 9 bh lagu dinyanyikan oleh Gembyung Pusaka Wargi ini. Pada saat lagu ke-3 dimainkan, masyarakat dusun banceuy yang kemasukan ruh mulai menari ditengah-tengah kelompok yang membentuk lingkaran sampai mereka terjatuh & kehabisan tenaga. Acara ritual ini berlangsung selama 2 – 3 jam.

Pada pagi hari sebelum acara helaran dimulai, setiap keluarga di dusun banceuy diwajibkan memberi makanan ke bale desa yang berupa nasi tumpeng, opak, kue, dll yang ditaruh pada sebuah nampan (nyiru). Dimana nantinya akan ada petugas yang mencatat semua makanan yang telah diserahkan oleh masing-masing keluarga. Selanjutnya makanan itu akan digunakan sebagai hidangan bagi masyarakat dusun banceuy dan sebagian akan dibagikan kepada para tamu undangan.

Lalu salah seorang pemuka adat yaitu Abah Ahrub akan mengucapkan doa sembari memberikan tumbal berupa cerutu, hasil bumi & memotong kepala ayam untuk kemudian menanamnya ke dalam tanah di sebuah tempat panumbalan. Baru setelah itu acara helaran dimulai menuju makam aki leutik di utara & selatan kampung dusun banceuy.

Segala peristiwa yang terjadi selama 24 jam di dusun banceuy itulah yang saya coba rekam melalui media fotografi dengan penuh kesadaran.

-g.sedayu
space59, 12 Januari 2008 – bandung.

Sabtu, 28 Maret 2009

Humanography

Humanography

adalah sekedar ‘bahasa’ yang kebetulan saya gunakan untuk merepresentasikan karya foto yang menggali spirit, hati dan jiwa manusia dalam kehidupan semesta masa kini. Termasuk di dalamnya foto-foto yang berupa profil manusia individu dan aktivitas manusia dengan segala interaksinya. Ketika fotografi mampu merekam realita yang terjadi di sekitar kita dengan hanya sepersekian detik saja, di saat itulah seorang manusia memiliki tanggung jawab terhadap karya foto yang diciptakan atas respon publik yang melihatnya sebagai hasil visual dari fotografi.

Meski hal-hal teknis bukan menjadi dosa dalam fotografi, ada baiknya kita mulai melihat keluar dari hal-hal teknis tersebut (yang kadang menyesatkan). Saat kita hendak menciptakan sebuah foto, kita tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan karya foto itu saja akan tetapi kita harus mampu memahami tentang karya foto yang kita buat. Karena itu menurut saya karya foto itu ada dua, yaitu karya foto yang baik dan karya foto yang bermakna.

Fotografi yang diperkenalkan ke dunia sejak tahun 1839 secara sadar atau tidak sangat memberikan kontribusi kepada sejarah peradaban manusia di bumi. Fotografi secara gamblang dan dengan mudahnya merekam wajah-wajah manusia yang menghias cerita dunia. Wajah yang bengis seperti Adolf Hitler, yang lucu seperti Mr.Bean, yang sexi seperti Madonna, yang kaya seperti Bill Gates dan yang sensasional seperti Sumanto (dari Indonesia tentunya).

Fotografi pun berfungsi menghasilkan sebuah citra yang pada akhirnya menimbulkan opini manusia yang beragam pula. Seperti film Flags of Our Father yang disutradarai oleh Clint Eastwood. Film ini sebenarnya mengetengahkan citra foto dari sekelompok tentara yang mengibarkan bendera Amerika Serikat di sebuah puncak bukit. Lalu ada film Afghan Girl yang menceritakan seorang fotografer dari National Geographic, Steve Mccury yang mencari jejak wajah seorang gadis cilik dari sebuah foto yang diambilnya di Afghanistan setelah 17 tahun lamanya.
Mengapa citra tersebut begitu kuat, jawabannya adalah karena ada cerita mengenai manusia (human) di dalamnya. Kehadiran manusia di jagat raya ini memberikan harapan kepada sebuah perdamaian yang telah lama didambakan bahkan sebelum Karl May menulis bukunya yang berjudul Peace on Earth (Damai di bumi) dengan tokohnya kepala suku Winetou dan sebelum seorang Seneca yang pernah berkata bahwa dimana ada seorang manusia maka disana akan ada kesempatan untuk kebaikan hati.

Bila terkadang kita sebagai manusia melihat masa lalu dengan penuh penyesalan atau melihat masa depan dengan penuh ketakutan, tinggalkan lah perasaan itu. Marilah kita sebagai manusia melihat masa kini dengan penuh kesadaran dan fotografi dapat membantu untuk merekam segala realitas kesadaran tersebut.
Salam. Fotografi bergerak!!

Tulisan ini diberikan pada acara seminar fotografi di universitas islam bandung.

bandung, 12 desember ‘07

Galih Sedayu
Fotografer & Pegiat Foto

Jazz Seen

JAZZ SEEN


William Claxton. Dilahirkan tahun 1930 di Califonia bagian Selatan oleh seorang Ibu yang mantan penyanyi semi profesional. Sejak usia tujuh tahun, Claxton sudah terpesona dengan musik jazz yang dimainkan oleh Cab Calloway & Lena Horne. Beranjak remaja, Claxton mulai melihat pertunjukkan musik jazz seperti Albert Ammons, Pete Johnson, Art Tatum & Fats Waller. Selanjutnya, nama-nama band tahun 1940 seperti Billie Holiday & Lester Young, Coleman Hawkins, Dizzy & Bird, Bud Powell menjadi idola bagi Claxton. Saat itulah salah seorang teman Claxton kala remaja yang bernama Richard Lang memperkenalkan fotografi.

Akhirnya, Claxton terus berkarya melalui fotografi. Hampir semua album cover musisi jazz ternama dibuat oleh Claxton. Pada tahun 1960, Kritikus & Penerbit asal Jerman yaitu Joachim Berendt mengajak Claxton berkeliling Amerika untuk memotret jazz. Hasilnya adalah sebuah buku yang diterbitkan di Eropa dengan judul Jazz-Life dengan teks terjemahan Jerman, Perancis & Itali.

Pada suatu waktu, Claxton mendapat tugas pemotretan dari sebuah majalah. Claxton bertemu dengan seorang aktris muda yang bernama Peggy Moffit. Saat itu Claxton menyarankan Peggy untuk menjadi model fashion. Peggy Moffit mewujudkannya dan bahkan tidak diduga-duga menjadi istri tercinta Claxton.

Herman Leonard & William Gottlieb adalah dua orang fotografer yang banyak memberi pengaruh bagi karya-karya Claxton. Claxton juga sering berdiskusi tentang fotografi bersama fotografer ternama Helmut Newton. Bahkan fotografer David Bailey pun terinspirasi untuk memotret kembali (setelah fotografi ditinggalkan untuk melukis) karena Claxton.

Karya-karya foto Claxton yang sangat menakjubkan dapat dilihat pada foto Art Pepper yang berjalan sambil menyandang saxophone pada pagi hari di fargo street. Saat itu Art Pepper baru saja dibebaskan dari penjara karena kasus narkoba. Lalu ekpresi malu-malu seorang Diana Krall yang sempat terekam oleh jepretan kamera Claxton ketika Krall diminta berpose memegang tangan Russell Malone pada sebuah sesi pemotretan.

Di akhir film Jazz Seen, Claxton berkata bahwa tanpa kamera pun dia selalu ingin merekam moment di setiap kedipan matanya. Kalau memang benar, kamera hanyalah sebuah alat. Mata kitalah yang sebenarnya merekam semua peristiwa yang terjadi dalam hidup.

Tulisan ini diberikan pada acara diskusi & bedah film “jazz seen” di inova photography school.

galih sedayu
January,2007

bandung sehari

Kata Pengantar Pameran Foto “Bandung Sehari #1”
yang diselenggarakan oleh Komunitas Pemotret Bandung (KPB)

Etos jiwa muda, semangat baja serta pencinta seni yang melekat selama ini, selalu memacu kami untuk mencurahkan segala tenaga dan pikiran yang kemudian dituangkan dalam sebuah karya fotografi, demi sebuah entitas yang disebut Komunitas Pemotret Bandung (KPB).
Tampaknya heterogenitas yang kami miliki tidak menjadi dinding penghalang untuk menyatu dalam ultra-dedikasi di kancah dunia fotografi yang kini semakin marak. Berangkat dari sebuah kebebasan dan harapan yang menggebu-gebu, kami kembali hadir untuk mempersembahkan karya-karya kami dalam bentuk pameran foto untuk ketiga kalinya.

Kali ini masalah kesehatan ibu hamil dan bayi menyusui menjadi sorotan yang menggugah hati kami guna mengangkat dan merekam segala realita hidup yang eksis di dalamnya. Pameran foto ini diberi tajuk “Peduli Ibu Hamil, Bersalin dan Menyusui “.
Menurut data terbaru dari Maternal & Neonatal Health (MNH), sebuah lembaga masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan ibu hamil, diperoleh data bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) hamil cukup tinggi di jawa-barat yaitu 390 per seratus ribu jiwa. Sedangkan pada tingkat nasional rata-rata 373 per seratus ribu jiwa. Hal inilah yang akan kami coba visualisasikan melalui media fotografi baik itu mengenai aktivitas dan interaksi sosial maupun segala problema yang ada di dalamnya dengan suatu asa yang besar bahwa semoga masyarakat kita dapat terbuka mata hatinya untuk berbuat sesuatu yang lebih baik.

Meskipun materi pameran ini kami coba gapai dengan pendekatan dokumentasi jurnalistik, tapi lebih dari itu kami berupaya untuk merekam suatu “Kedalaman”, yang mencoba untuk tidak terpaku pada suatu pakem fotografi tertentu, dimana tetap mengacu pada obyek foto yang relevan dengan masalah yang primordial. Memang kami menyadari bahwa pameran ini tidak memberikan suatu kontribusi ataupun solusi yang konkrit untuk mengatasi akar permasalahannya. Tetapi harapan itu tetap ada bahwa karya-karya kecil yang kami buat dapat menjadi lentera yang menyinari gelapnya gua dalam konteks masalah kesehatan ibu hamil dan bayi.

Walau bagaimanapun juga proses kreativitas dan seni yang kami miliki itupun terus berlanjut. Bahkan pada detik-detik di saat kami sedang memikirkannya. Dimana secara tidak langsung itu semua merupakan proses pembelajaran bagi kami untuk mendapatkan suatu perspektif dan paradigma baru nan segar dalam dunia kami.
Karna cara yang terbaik untuk memulai adalah dengan melakukannya, maka kami coba lakukan dengan cara kami....dalam dunia FOTOGRAFI. Salam.

Fotografi bergerak!! Bandung, oktober 2001


galih sedayu
fotografer & pegiat foto