Rabu, 01 April 2009

Pencarian Tak Berujung Demi Kelangsungan Peradaban Cahaya

PENCARIAN TAK BERUJUNG DEMI KELANGSUNGAN PERADABAN CAHAYA


Kita tidak akan mempunyai cahaya tanpa ada kegelapan melekat di dalamnya
-Arlo Guthrie-


Tahunnya 1839, saat fotografi dipersembahkan ke dunia berkat penemuan seorang Louis Jacques-Mande Daguerre (1767-1851). Sejak itu dimulailah sebuah peradaban cahaya yang memiliki jutaan umat di muka bumi ini. Bangsa ini sangat beruntung karena 2 tahun setelah penemuan fotografi yang fenomenal tersebut (1841), kita dapat turut merasakannya lewat fotografer Jurian Munich yang membawanya ke Batavia kala itu. Hingga kini yang telah memasuki era digital, fotografi menjadi sebuah candu yang semakin banyak diminati terutama oleh kaum muda.

Daya magnet fotografi itulah yang menghipnotis sekelompok muda pecinta cahaya asal Universitas Islam Bandung (Unisba) yang menamakan dirinya “Jendela Edukasi Pemotret (Jepret)”, untuk menghelar sebuah kegiatan dalam bentuk Pameran Foto yang bertajuk “Jalan Cahaya”. Tajuk ini mereka ambil sebagai sebuah perayaan untuk mengingat kembali esensi cahaya dari disiplin fotografi. Lebih jauh lagi sesungguhnya mereka berusaha mengungkapkan rasa sukurnya kepada Sang Pencipta yang memegang kendali terhadap kuasa cahaya itu sendiri. Melalui Pameran Foto ini pula mereka berkontemplasi terhadap keberadaan cahaya yang hidup. Bagaimana mereka mendefinisikan cahaya melalui mata hatinya. Bagaimana mereka mengeksplorasi skill dan wawasan sesuai dengan ketertarikan visual yang mereka miliki. Juga bagaimana mereka bertanggung-jawab terhadap imaji-imaji yang mereka rekam. Ada sekitar 50 buah karya foto yang dipamerkan oleh mereka dan tentunya ikut memberikan kontribusi terhadap perkembangan fotografi khususnya di kalangan masyarakat pendidikan. Meski karya-karya foto yang dihasilkan oleh mereka belum sepenuhnya utuh tetapi harapannya adalah agar mereka dapat selalu belajar untuk membuat jejak sehingga langkah mereka tidak berhenti di sini saja.

Pada dasarnya fotografi yang tidak bisa lepas dari peran cahaya itu adalah sebuah cara melihat. Freeman Paterson dalam bukunya yang berjudul “Photography and the Art of Seeing”, mengungkapkan bahwa ‘melihat’ sesuatu (dalam konteks merekam gambar) berarti menggunakan rasa, intelektualitas dan emosi yang kita punya. Kita bisa memulainya dengan sebuah pengamatan yang cermat terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Bagaimana kita dapat mengelola cahaya-cahaya dalam bentuk benda maupun peristiwa untuk kemudian diabadikan oleh optis kamera. Oleh karena itu, gambar yang baik, foto yang baik tidak melulu dihasilkan dari sebuah perjalanan yang ribuan mil jauhnya dari rumah. Selama cahaya tetap menemani manusia, fotografi akan selalu menjadi saksi cahaya. Karenanya tetaplah merekam agar penggalan-penggalan visual yang selalu bergerak dalam drama kehidupan ini menjadi beku dan tercatat dalam sejarah peradaban cahaya. Selalu dan selamanya.

Salam. Fotografi bergerak!! Bandung, 25 Maret 2009

Galih Sedayu
Fotografer & Pegiat Foto

Tulisan ini diberikan sebagai kata pengantar pada Pameran Foto “Jalan Cahaya” karya teman-teman JEPRET Universitas Islam Bandung yang berlangsung pada tanggal 30 maret s/d 5 april 2009 di Galeri Kita Jl RE Martadinata No 209 Bandung.

Kegelisahan Visual Versus Tembok Pembatas

KEGELISAHAN VISUAL VERSUS TEMBOK PEMBATAS


As the fascination that photographs exercise is a reminder of death, it is also an invitation to sentimentality
-Susan Sontag-
(Novelist & Filmmaker, dari esei yang ditulisnya, “Melancholy Objects”
dalam buku “On Photography”)

Sejak fotografi ditabiskan dan mewarnai dunia pada tahun 1839 berkat penemuan dua sekawan Joseph Nicephore Niepce (1765-1833) dan Louis Jacques-Mande Daguerre (1767-1851), berjuta imaji dalam hidup pun terus direkam tanpa henti oleh anak manusia yang mengatasnamakan dirinya pengikut cahaya. Foto-foto mereka tercatat dan menjadi jejak visual pada dinding sejarah peradaban fotografi dunia. Dari mulai karya fotografi solarisasi nya seorang Man Ray, karya fotogram nya seorang Laszlo Moholy-Nagy, karya studi multiple-exposure nya seorang Bragaglia, karya foto montase nya John Heartfield dan Alexander Rodchenko atau karya desicive moment nya Henri Cartier-Bresson. Semua aliran foto yang diusung oleh mereka menjadikan fotografi sebuah artefak visual yang utuh dan abadi adanya.

Fotografi dapat menjadi media curahan hati yang sangat personal ketika apa yang dipikirkan ataupun apa yang dialami oleh seorang pemotret menyentuh kegelisahan yang hadir dalam relung sanubarinya masing-masing. Ketika rasa ini ada, fotografi tidak lagi berkompromi dengan hal-hal teknis semata. Tidak ada dogma yang mengharuskan bahwa komposisi foto yang baik itu adalah the rule of third, sudut gambar yang indah itu harus birds eye view, moment yang baik itu harus freeze atau tidak boleh shaking dan lain sebagainya. Di sini fotografi hanya menjadi sebuah medium perantara. Sama seperti yang dikatakan oleh fotografer Andre Kertesz bahwa kamera itu hanya sebuah alat dan melalui alat itu seorang fotografer memberikan makna dan alasan mengenai segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya. Pada saat itulah esensi mengenai isi, makna dan pesan pada sebuah karya foto menjadi hal yang utama untuk diperbincangkan.

Adalah sekelompok anak muda yang tengah mengemban ilmu di Universitas Padjajaran Bandung Jalan Dago Pojok dan menamakan diri mereka Brigadepoto #, yang mencoba menyuarakan kegelisahan imajinasi dan curahan hatinya melalui sebuah Pameran Foto. “Just Kick The Wall”. Begitulah tajuk pameran foto yang dipersembahkan oleh mereka untuk kita. Berawal dari sebuah keinginan yang kuat untuk dapat menorehkan sesuatu melalui fotografi dengan melawan segala keterbatasan yang mereka miliki, Pameran Foto ini pun dimulai. Tujuh pendekar fotografi muda yang bernama Cholidzain, Doly Harahap, Erwin, Irwan, Ojik , Ricky ‘Emon’, Sandi ‘Usenk’ dan Thatha yang berkolaborasi dalam Pameran Foto ini, seolah-olah bertarung dengan dirinya masing-masing lewat karya-karya foto mereka.

Cholidzain dengan karya fotonya yang berjudul “Apa Kabar Pocong?”, mencoba mendeskripsikan pocong yang tengah diwawancara oleh sejumlah media bak seorang selebritis. Sebuah parodi agaknya langsung terlintas ketika kita melihat foto tersebut. Sesungguhnya Cholidzain mencoba mengungkapkan persepsinya tentang film-film indonesia yang kerap sekali menyuguhkan film horor dengan tokoh pocongnya, tanpa ada sebuah edukasi yang berarti bagi masyarakat yang menontonnya. Selain tentunya mereka hanya sekedar mencoba menakut-nakuti kita dengan film tersebut (meski kadang kita tertawa saat melihatnya).

Lain halnya dengan Doly Harahap yang membuat karya-karya foto bagai sebuah fragmen dengan tema “Mencari Alamat”. Di sini Doly mencoba bermain batin dan mengekplorasi fotografi dengan menggunakan lukisan ibundanya (yang telah tiada). Unsur-unsur yang bersifat personal seperti tangan, kain ulos, kursi dan kamera menjadi ungkapan jiwa yang melankolik. Doly mencoba untuk berdialog dengan almarhum ibu yang sangat dicintainya tersebut dan berusaha untuk menghadirkan kembali figur ibundanya dengan harapan agar kerinduannya dapat terobati. Karena bagi Doly, satu-satunya yang nyata pada saat itu adalah rasa rindu yang membelutnya.
Begitu pula dengan karya-karya foto yang lain, masing-masing mempunyai interpretasi yang unik. Seperti Erwin yang cenderung mempertanyakan Hukum Tuhan dengan karya fotonya “Pilihan”, Irwan yang mengingatkan kita tentang bagaimana manusia yang konsumtif menghabiskan kertas dengan menghabiskan pohon-pohon dengan karya fotonya “Aku dan Sebelum Aku”, Ricky Emon yang memvisualkan pergumulan dirinya melawan rasa malas dengan karya fotonya “Picture of Me”, Ojik yang memaparkan tentang sebuah peperangan abadi dalam batin kita dengan karyanya “Baratayudha”, Thata yang mengusung tema gerak tubuh dalam menyikapi alam dan penderita schizophrenia dengan karyanya “The Harmony of Gesticulation” dan Usenk yang mengkontemplasikan segala perasaan yang kerap melekat dalam dirinya dengan karyanya “Antara Rasa, Estetika dan Presisi”.

Memang bila kita menyimak karya-karya foto yang dipamerkan oleh teman-teman Brigadepoto # ini, agaknya akan selalu ada dialog yang terus mengalir. Ketika karya mereka disuguhkan untuk publik, cara menerjemahkan sebuah kegelisahan masing-masing individu secara visual akan berhadapan dengan sejumlah pertanyaan yang mau tidak mau harus diladeni oleh setiap pemotret. Meski begitu, karya-karya kecil mereka patut diacungi jempol. Karena di tengah hingar bingarnya karya fotografi yang cenderung piktorial, eksploitasi model dan euforia digital, masih ada pelita kecil yang menerangi dan menawarkan sebuah genre fotografi yang lain. Oleh karena itu semangat yang muncul seperti ini perlu mendapat sebuah tempat baru. Agar fotografi dapat menjadi ajang kreativitas mahluk-mahluk yang ingin selalu berubah. Sama seperti tetesan air hujan yang dapat melubangi sebuah batu, tidak dengan kekerasan tetapi dengan tetesan yang sering. Mereka inilah yang suatu saat dapat menjadi pahlawan-pahlawan cahaya yang bukan ‘diwarnai’ melainkan ‘mewarnai’ dalam fotografi.

Salam. Fotografi bergerak!!

Bandung, 23 Maret 2009

Galih Sedayu
Fotografer & Pegiat Foto

Tangis Tegar Karst Citatah Di Antara Debu Keangkuhan Manusia

TANGIS TEGAR KARST CITATAH DI ANTARA DEBU KEANGKUHAN MANUSIA.


Zamannya Tersier kala Miosen Awal (sekitar 30 – 20 juta tahun yang silam). Ketika kawasan alam Karst Citatah yang merupakan perbukitan batu kapur yang membentang dari daerah Tagog Apu, Padalarang, Cipatat, hingga Rajamandala (sekitar km 22 & km 23 dari arah bandung menuju cianjur) terbentuk dari endapan hasil binatang laut dan kini menjadi sebuah memoar keajaiban fenomena alam. Dimana pada kawasan tersebut terdapat berbagai warisan karst yang perlu dilestarikan seperti Pr. Pabeasan dengan tebing 125-nya, Gunung Hawu, Gunung Manik dengan tebing 49-nya, Karang Panganten, Gunung Masigit dan Pr. Pawon dengan guanya yang telah diketahui merupakan situs hunian prasejarah pertama di Jawa Barat.

Jauh sebelumnya kawasan Karst Citatah ini merupakan surga yang hijau nan damai di antara aroma segar rerumputan, kicau burung yang bebas lepas beterbangan serta semilir angin yang sejuk menyibakkan rambut. Hingga suatu saat kawasan ini ‘dieksplorasi’ oleh segelintir manusia yang berlindung di bawah secarik kertas yang bernama sertifikat resmi. Demi seonggok batu kapur sebagai bahan pembuat bangunan semisal gedung-gedung megah yang kerap menghiasi wajah metropolitan, pengolahan batu gamping yang kadang menggunakan bahan peledak itu pun diaminkan. Keberadaan karst sebagai pusaka alam tersebut makin lama semakin hilang tertelan gemuruh ledakan dan mesin-mesin raksasa yang haus akan penaklukan. Surga itu pun kini menjadi surga imajiner di antara debu-debu yang menyesakkan nafas.

Adalah Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), sebuah kelompok kecil independen dan di dalamnya berisi orang-orang sederhana yang sangat peduli terhadap lingkungan alam (khususnya cekungan bandung), yang menggagas sebuah program edukasi visual yaitu Lomba Foto “Selamatkan Karst Citatah’. Program ini selain bertujuan untuk mengarsipkan foto-foto sejarah alam juga bertujuan untuk menyentuh hati masyarakat agar dapat menyuarakan lagu kepedulian terhadap kawasan Karst Citatah yang saat ini semakin mendekati ajal. Melalui media fotografi ini diharapkan agar masyarakat (yang umumnya lebih mudah mencerna sesuatu secara visual ketimbang tulisan) dapat membaca sebuah realitas pahit yang terjadi pada alam tempat mereka berpijak. Dengan harapan bahwa mulai saat ini, bersama-sama kita dapat menyumbangkan segala solusi maupun jawaban dari setiap permasalahan yang timbul akibat kegelisahan Karst Citatah. Meski kita sadar benar bahwa semuanya itu sudah terlambat.

Lomba Foto “Selamatkan Karst Citatah” yang diadakan pada periode bulan November – Desember 2008 yang lalu ini diikuti oleh 68 Peserta dengan jumlah karya foto yang masuk sebanyak 575 karya. Agar masyarakat dapat melihat dan mengapresiasikan hasil-hasil karya lomba foto tersebut, Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) bekerjasama dengan Air Photography Communications mengadakan sebuah Pameran Foto “Selamatkan Karst Citatah” yang berlangsung pada tanggal 18 Februari 2009 s/d 25 Februari 2009 di Museum Geologi Bandung. Sekitar 50 buah karya yang terdiri dari 9 karya foto para pemenang lomba dari semua kategori yaitu Keindahan, Kerusakan dan Human Interest serta beberapa karya foto yang masuk ke dalam nominasi turut dipamerkan kepada publik.

Sebagai sebuah paparan visual, Pameran Foto ini mudah-mudahan dapat menjadi renungan bersama untuk berbuat sesuatu bagi masa depan Karst Citatah. Jangan sampai suatu saat nanti Karst Citatah hanya menjadi totem kelam sejarah alam bangsa kita seperti halnya yang terjadi di Jogyakarta. Sekitar 4 km arah barat kota ini, di antara Kali Progo dan Kali Opak, bukit gunung kapur yang tadinya begitu luas, kini telah sirna dengan hanya menyisakan seonggok batu gamping sebagai simbol kebesaran alam yang pernah mengukir peradaban anak manusia. Walau sepertinya sulit untuk mencegah kerusakan alam yang terjadi di depan pelupuk mata kita, namun semangat optimis itu harus tetap berdenyut dan menular ke dalam hati sanubari semua orang yang memiliki mata jiwa. Dengan cara apapun, melalui media apapun. Untuk itulah fotografi yang terlahir ke bumi sejak tahun 1839 silam, dapat menjadi medium visual bagi lakon fotografer maupun insan fotografi yang memiliki peran tanggung jawab sosial. Yang tanpa lelah merekam imaji-imaji visual, yang tanpa gentar mengabadikan memori-memori visual, yang tanpa beban menyimpan bingkai-bingkai visual. Demi sebuah tujuan besar dari sebuah langkah kecil yang bernama perubahan. Seorang bijak dulu pernah berujar bahwa “Cara terbaik untuk meramalkan masa depan adalah dengan menciptakannya”. Karenanya marilah kita ciptakan masa depan bagi keabadian Karst Citatah. Agar tetap berdiri tegak dari mulai matahari terbit hingga terbenamnya sang surya. Agar selalu menjadi noktah alam yang tak terhapuskan dari tanah air kita. Yang selalu setia menemani dan menjadi monumen alam sejati bagi keberlangsungan hidup anak dan cucu kita selamanya.
Selamatkan Karst Citatah!!
Salam. Fotografi bergerak!!


Galih Sedayu
Fotografer & Pegiat Foto

Tulisan ini diberikan sebagai kata pengantar di Pameran Foto Selamatkan Karst Citatah yang dilaksanakan oleh KRCB pada tanggal 19 s/d 25 Februari 2009 di Museum Geologi Bandung.

Fotografi Cermin Visual Bangsa

Perlu disadari bahwa kontribusi disiplin fotografi dengan segala sifatnya yang realistik, praktis dan informatif bagi sejarah peradaban manusia di muka bumi ini tidaklah menjadi kerdil. Sejak ditemukannya fotografi pada tahun 1839 oleh Louis-Jacques-Mandé Daguerre, eforia penemuan yang revolusioner tersebut mulai terasa menjamur ke seluruh antero dunia. Bahkan 2 tahun setelahnya (1841), Bangsa Indonesia pun turut merasakan kehadiran fotografi tersebut dimana fotografer Jurrian Munich menggunakan media fotografi untuk mendokumentasikan temuan arkeologi, tanah dan masyarakat Hindia Belanda di Batavia pada waktu itu.
Fotografi dengan kemampuan optisnya dapat merekam segala peristiwa aktual yang menjadi lembaran sejarah dan mampu menyampaikan sebuah pesan sehingga dapat menciptakan inspirasi dan makna bagi manusia yang melihat meski secara kasat mata. Hal inilah yang menarik hati PT Pos Indonesia untuk membangun citra perusahaan serta memberikan edukasi positif kepada masyarakat Indonesia melalui fotografi. Melalui sebuah program Lomba Foto Nasional, PT Pos Indonesia turut berperan dalam mewarnai dunia fotografi di Indonesia. Dimana Lomba Foto Nasional Pos Indonesia ini telah berjalan selama 3 tahun terhitung sejak tahun 2006.

Lomba Foto Nasional Pos Indonesia pertama pada tahun 2006 yang bertemakan Wajah Optimisme Pos Indonesia Masa Kini diikuti oleh 204 peserta dan jumlah foto yang masuk sebanyak 817 karya (dengan waktu promosi selama 1,5 bulan). Lomba Foto Pos Indonesia 2006 ini menghadirkan Dewan Juri yaitu Andhika Prasetya (Dosen Fotografi) yang kini telah Almarhum, Dudi Sugandi (Redaktur Foto), Heru Agustianto (Pos Indonesia), Oscar Motuloh (Kurator Foto) & Wismanto (Fotografer). Pada tahun 2007 Pos Indonesia mulai memberikan pencerahan baru pada tema lomba foto yang diusungnya yaitu Etos Kerja Orang Indonesia. Tema ini mendapat respon dan tanggapan positif dari insan fotografi Indonesia, terbukti dengan jumlah karya yang masuk sebanyak 2234 karya foto dari 590 peserta (dengan waktu promosi selama 4 bulan). Dewan Juri Lomba Foto Pos Indonesia 2007 ini terdiri dari Prof.Dr. Bambang Sugiharto (Pakar Filsafat), Dudi Sugandi (Redaktur Foto), Heru Agustianto (Pos Indonesia), Julian Sihombing (Wartawan Foto) dan Oscar Motuloh (Kurator Foto). Tahun 2008, untuk ketiga kalinya Pos Indonesia menyelenggarakan Lomba Foto Nasional dengan tema Bumi Merah Putih Harus Hijau yang diikuti oleh 459 peserta dengan jumlah karya yang masuk sebanyak 1496 (dengan waktu promosi selama 1 bulan). Adapun yang menjadi Dewan Juri Lomba Foto Pos Indonesia 2008 ini adalah Dudi Sugandi (Redaktur Foto), Heru Agustianto (Pos Indonesia), Iwan Abdulrachman (Aktivitis Lingkungan Hidup), Kristupa Saragih (Fotografer) dan Oscar Motuloh (Kurator Foto).

Dari sekian banyak karya foto yang masuk panitia, Dewan Juri harus memilih hasil foto terbaik untuk 13 orang pemenang. Karena penilaian foto didasarkan pada 3 hal utama yaitu kesesuaian tema, orisinalitas ide dan eksekusi, maka proses penjurian yang dilakukan sangatlah selektif dan sangat ketat. Banyak hal unik yang terjadi pada saat penjurian. Misalnya saja ada seorang peserta yang mengirimkan karya foto yang menggambarkan foto diri / individu si pemotret beserta teman-temannya yang tengah berpose bagaikan selebritis (cenderung narsis). Dan lebih uniknya lagi bahwa foto tersebut dilaminasi seperti menu makanan warung tenda yang ada jalanan. Lalu ada juga peserta yang bukan mengirim karya foto, malahan mengirim sepucuk surat yang berisi tentang keinginan yang kuat dari si peserta untuk memenangkan hadiah lomba foto tersebut (yang mungkin mereka anggap sebagai sebuah undian berhadiah) dengan bercerita panjang lebar tentang kesulitan hidup yang dialaminya melalui tulisan yang dibuat. Atau ada juga peserta yang mengirimkan sebuah gambar hasil coretan pinsil warna di atas selembar kertas putih (lagi-lagi bukan mengirimkan karya foto).

Sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawabnya sebagai suatu perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, PT Pos Indonesia mengadakan sebuah Pameran Hasil Lomba Foto Nasional yang telah dibuat sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2008. Pameran ini berisi karya-karya foto terbaik yang menjadi pemenang lomba di setiap tahunnya. Pameran ini dibuat dengan harapan bahwa PT Pos Indonesia mencoba meninggalkan sebuah jejak langkah di Tanah Air ini melalui catatan visual fotografi yang merepresentasikan kearifan bangsa. Maka dari itu ketika muncul sebuah pertanyaan tentang bagaimana cara penyampaian visual yang terbaik kepada masyarakat, pada saat itulah fotografi hadir dan menjawab dengan lantang. Sehingga masyarakat pada akhirnya dapat menyadari bahwa fotografi sebenarnya merupakan salah satu bentuk budaya imaji lewat gambar, yang dewasa ini telah mengisi jutaan buku di seluruh perpustakaan dunia. Tentunya dengan sebuah harapan bahwa fotografi dapat menjadi cermin diri dan dapat menciptakan medium kontemplasi bagi bangsa kita untuk menjadi yang lebih baik.
Salam. Fotografi bergerak!!

Galih Sedayu
Fotografer & Pegiat Foto

Menuju Bandung 200 tahun

Kata Pengantar Pameran Foto Trilogi I: “Bandung Edun”

Menuju Bandung 200 tahun.

Pada tahun 1809 Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels berkata kepada Bupati R.A. Wiranatakoesoema II, “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd” (Usahakan, bila saya datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun). Setahun setelah peristiwa tersebut dimana Daendels menancapkan tongkatnya di tanah Jl Asia Afrika (KM. BD 0.00), lahir lah sebuah Kota yang bernama “Bandung”. Sehingga tanggal 25 September 1810 merupakan tanggal bersejarah bagi kelahiran Kota Bandung karena pada saat itu Bupati R.A. Wiranatakoesoema II (yang dikenal dengan julukan Dalem Kaum), dengan sebuah besluit pemerintahan Hindia Belanda menyatakan Kota Bandong sebagai ibukota Kabupaten Bandong. Sejak saat itulah Kota Bandung berkembang dengan pesat hingga saat ini. Berbagai julukan tentang Kota Bandung pun disandangnya dari mulai Kota Budaya, Kota Kembang, Kota Seniman, Kota Belanja, Kota Kuliner sampai pada Kota Kreatif. Khusus untuk citra Kota Bandung yang menyandang sebutan sebagai Kota Kreatif, dispilin fotografi menjadi salah satu bidang yang termasuk ke dalam citra kreatif tersebut.

Atas dasar pada kesadaran bahwa kecintaan untuk sebuah kota itu perlu ditumbuhkan melalui cara apapun, maka dari itu sekitar 62 pemotret yang mewakili masyarakat fotografi di Kota Bandung menyuguhkan karya-karya fotonya dalam sebuah Pameran Fotografi yang bertajuk “Bandung Edun”. Pameran ini merupakan episode pertama dari 3 buah rangkaian Pameran Foto (Trilogi) yang akan digelar dalam rangka menuju Bandung 200 tahun pada tahun 2010 nanti. Tema Bandung Edun ini diangkat dengan latar belakang imajinasi, kegelisahan maupun paparan yang berbeda-beda dari setiap pemotret dengan berbagai profesi yang digelutinya. Karena itu para pemotret yang terlibat dalam Pameran Foto ini terdiri dari bermacam-macam aliran dengan media kamera yang beragam seperti Jurnalistik, Piktorial, Dokumenter, Kamera Saku, Lomografi, Lubang Jarum, Digital Imaging, Fine Art, Kontemporer, Esai dan lain sebagainya.

Oleh karena itu tidak ada kata salah dan benar dalam memulai ide Pameran Foto Trilogi ini akan tetapi tindakan kecil apa yang harus kita ciptakan untuk berbagi dengan yang lain. Harapannya adalah bahwa para pelaku fotografi sebagai bagian dari masyarakat Kota Bandung, dapat membuat sebuah jejak langkah di jalan kecil yang dilaluinya. Tentunya melalui kreativitas fotografi yang selalu abadi merekam peradaban cahaya di bumi yang semakin gelap ini. Seperti kata seorang bijak, “Tidak terlalu penting apakah kita berjalan di atas air atau melangkah di udara. Keajaiban sejati adalah terus berjalan di atas bumi”. Begitu pula dengan keajaiban fotografi sejati yang selalu terus merekam, merekam dan merekam. Salam.

Fotografi bergerak!!!

Bandung, 23 Desember 2008

galih sedayu
fotografer & pegiat foto
www.galihsedayu.com

Fotografi: Komunikasi & Citra Visual

a writting in photography seminar, "photography: communications & branding" for college students at islam university of bandung

Fotografi : Komunikasi & Citra Visual

Dimulai dengan sebuah citra…
Saat fotografi hadir di tengah keberadaan umat manusia yang selalu haus akan setiap penemuan baru, fotografi yang dibawa oleh Louis-Jacques-Mandĕ Daguerre pada tahun 1839 telah menjadi sebuah displin ilmu yang menciptakan citra dari wajah dan semangat sejarah peradaban manusia. Melalui fotografi, manusia semakin aktif berkomunikasi lewat gambar-gambar visual yang ditimbulkan oleh buah teknologi yang bernama kamera. Dimensi waktu & ruang yang merupakan bagian dari sebuah peristiwa hidup (seolah-olah) dihadirkan kembali menjadi sebuah foto yang sarat dengan sebuah pesan maupun mampu memberi inspirasi kepada insan manusia yang melihatnya. Foto karya Joe Rosenthal misalnya. Foto yang menggambarkan pengibaran bendera star and stripes di puncak Gunung Suribachi pada pertempuran Iwo Jima yang menewaskan hampir 6000 jiwa serdadu AS tersebut, memberikan pesan yang berdampak positif terhadap masyarakat internasional. Bahkan menginspirasi seorang sutradara kenamaan dunia, Clint Eastwood untuk membuat film yang berjudul Flags of Our Father.

Bahkan fotografer sebagai orang yang mengeksekusi segala peristiwa maupun potret manusia di dunia pun mempunyai cerita tersendiri. Fotografer August Sander misalnya. Fotografer jerman yang lahir pada tahun 1876 ini banyak mengabadikan potret masyarakat jerman mulai dari petani,pekerja,pengusaha,militer,wanita,kalangan terpelajar dan kaum pinggiran tanpa membeda-bedakan derajat dan status sosial. Malangnya pada tahun 1934 Sander diberangus Gestapo, sebuah rezim penguasa pada masa perang dunia ke-II. Karya-karya fotonya disita & dimusnahkan. Maka tak heran bila sederet cendekiawan seperti Walter Benjamin, Thomas Mann, Roland Barthes, John Berger & Susan Sontaq banyak mengenang seorang August Sander lewat tulisan-tulisannya.

Saat ini ilmu fotografi memberikan peran yang sangat penting terutama dalam melahirkan berbagai macam profesi yang muncul, entah itu seorang fotografer komersil,pengajar fotografi,wartawan foto,kurator foto,editor foto,kolektor foto, penulis ataupun hanya sekedar menjadi seorang pedagang peralatan fotografi. Namun yang perlu kita sadari adalah apa yang dapat kita perbuat dengan ilmu fotografi tersebut dengan spirit komunikasi & citra visual yang dimilikinya.

Karena dalam fotografi tidak hanya sekedar apa yang kita kuasai, melainkan juga mengenai apa yang kita pelajari…apa yang kita hasilkan…dan apa yang kita bagi. Tentunya demi kehidupan yang lebih bermakna.
Salam. Fotografi bergerak!!!

Bandung, 29 Oktober 2008

galih sedayu
fotografer & pegiat foto
www.galihsedayu.com

Perjalanan lain seorang Andhika Prasetya

a writting as a curator in "another journey of andhika prasetya" photo exhibition.

Kehilangan seseorang di dalam suatu kehidupan selalu menjadi cerita yang haru biru. Seperti yang tengah kita alami saat ini, dunia fotografi kembali kehilangan salah satu tokoh panutan masyarakat foto yang kerap mengisi aktivitas kreatif khususnya di Kota Bandung . Setelah kepergian Bapak RM Soelarko, Bapak Leonardi dan Bapak KC Limarga beberapa tahun silam, kini Kota Bandung kembali kehilangan seorang figur bersahaja yang telah banyak berjasa terutama dalam hal mengajarkan ilmu fotografi. Ignatius Andhika Prasetya, dalam usianya yang ke 40 tahun, ayah dari 2 orang anak ini ternyata begitu cepat dipanggil oleh Sang Khalik ke RibaanNya. Tepat pada hari Minggu Tanggal 10 Agustus 2008 pukul 21.30 WIB, ia secara mendadak wafat di daerah Wangon (Jawa Tengah) dalam perjalanan dari Jogyakarta menuju Bandung setelah mengikuti acara sebuah seminar tentang film. Berawal dari keluhan perutnya yang tiba-tiba sakit sampai akhirnya ia meregang nyawa dalam waktu kurang lebih 20 menit kemudian. Entah karena sebab apa, yang pasti adalah bahwa kita sebagai anak manusia tidak memiliki kuasa apa-apa terhadap sebuah takdir yang bernama Kematian yang sering datang menjemput tanpa mengetuk pintu.

Berbicara tentang Andhika Prasetya, tidak pernah lepas dari imej kebaikan yang selalu menyertainya. Semasa hidupnya, ia adalah seorang pria sederhana yang berprofesi sebagai pengajar fotografi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Widyatama. Kecintaannya pada fotografi dapat dilihat dalam kehidupannya sehari-hari. Putra keduanya yang baru berumur 5 tahun pun diberi nama Sebastian atas dasar kekagumannya pada fotografer kelas dunia, Sebastiao Salgado. Ia juga sangat peduli akan perkembangan sebuah komunitas foto, dimana ia sempat membantu menjadi Kurator Pameran Foto yang digagas oleh Komunitas Pemotret Bandung (KPB) bertajuk “Bandung Sehari” pada tahun 2001 di Bandung Indah Plaza (BIP). Ia pun memiliki pandangan yang luas terhadap sebuah karya foto. Dimana sisi konten, kedalaman dan hal-hal yang bersifat semiotik akan selalu menjadi wacana yang terus digali olehnya.

Kedahagaan akan wawasan baru selalu muncul darinya bak makanan yang diperuntukkan bagi jiwa. Fotografi, film, musik, filsafat, desain, dan seni akan selalu menjadi topik perbincangan yang menarik kala kita sedang berdiskusi dengannya. Citra orang baik, mau tidak mau melekat di dalam dirinya karena begitu banyak pribadi yang telah ia sentuh hatinya. Baik melalui sopan santun, kesabaran, berbagi ilmu dan kecakapan yang dimilikinya. Sampai pada akhir hayatnya pun sepertinya ia tidak mau merepotkan keluarga dan para sahabatnya. Sebelum kepergiannya, ia sempat berpesan kepada istri yang sangat dicintainya bahwa bila kelak ia meninggal, ia tidak ingin jenasahnya dimakamkan atau dikubur di tanah. Ia lebih memilih agar tubuhnya dikremasi dengan alasan bahwa ia tidak mau merepotkan orang banyak.
Pesan yang ia sampaikan tampaknya tertanam di benak keluarganya. Menjelang pelepasan jenasah di ruang kremasi, istri terkasihnya yang bernama Lita dan kedua anaknya pun tampak tegar melepas orang yang sangat mereka cintai tersebut. Itu semua terlihat pada senyuman keharuan sekaligus kebahagiaan yang dipancarkan oleh mereka. Ia seperti membisikkan kepada mereka semua bahwa tidak ada yang perlu ditangiskan karena ia selalu ada dan senantiasa memeluk mereka dengan erat. Meski, Lia putri pertamanya yang berumur 7 tahun sesekali memandangi foto ayahnya dalam bingkai dengan tatapan yang kosong.

Pada saat sebelum proses kremasi, terlihat tubuhnya begitu rapih dan jelas meskipun dengan tubuh yang kaku ketika berada di dalam peti mati. Wajahnya menyinarkan senyum dan optimisme meski dengan kedua bola mata yang terpejam. Benda-benda yang ia sukai ketika masih hidup pun ikut menemani dan disimpan ke dalam peti matinya. Diantaranya sebuah buku yang berjudul “Principles of Visual Anthropology”, sepotong kaos oblong putih yang bolong-bolong, seuntai tas dari anyaman rotan dan sepasang sepatu coklat yang selalu dikenakannya. Memang ia bukanlah seorang Alfred Stieglitz, Walker Evans, Henri Cartier-Bresson, Richard Avedon dan sederet nama fotografer kenamaan lainnya. Ia hanyalah seorang Andhika Prasetya, seorang pemuda asal Jember yang lahir pada Tanggal 2 Mei 1968. Tetapi kehidupannya banyak menginspirasi dan menggugah para sahabat yang pernah dekat dengannya.

Sebagai wujud sebuah penghormatan yang paling dalam dari kami yang mewakili para sahabat, murid dan saudara dari seorang Andhika Prasetya, kami mencoba mengenang kepergian dan mengingat kembali kehadirannya dengan mempersembahkan Pameran Foto yang bertajuk “Another Journey of Andhika Prasetya”. Pameran foto yang bertepatan dengan 40 hari setelah kepergiannya ini merupakan beberapa kumpulan hasil rekaman imajinasi visual beliau dari mulai karya foto terdahulu sampai pada karya foto yang diambil beberapa waktu sebelum beliau wafat. Seperti foto seekor elang yang sedang terbang tinggi dan sendiri di angkasa. Bagi kami, seolah-olah foto tersebut merupakan titisan diri ruh seorang Andhika Prasetya yang meninggalkan jasadnya di bumi untuk berkelana kembali dalam keabadian waktu. Agaknya ia telah siap melangkahkan kakinya ke dalam sebuah kehidupan lain. Karena baginya kebahagiaan itu bukanlah sebuah perhentian akhir, melainkan sebuah perjalanan.

So long to a simple man…our brother, our teacher and our friend.
There is no death.
There’s only a beginning of life.
Enjoy your another journey!

Salam. Fotografi bergerak!!!
Bandung, 11 September 2008

galih sedayu
fotografer & pegiat foto