Rabu, 01 April 2009

Perspektif Waktu

a writting as a curator in "perspective of time" photo exhibition by brigadepoto community.

Ada sebuah tulisan menarik tentang waktu di dalam buku kedua karangan Neale Donald Walsh yang berjudul Conversations with God. Di dalam buku itu disebutkan bahwa apa yang dikatakan manusia tentang waktu itu sebenarnya tidak ada. Semua hal dan segala peristiwa itu, ada dan terjadi secara serempak. Bahkan pemahaman yang benar tentang waktu adalah bahwa waktu dialami sebagai suatu gerakan dan suatu aliran, bukannya sebagai suatu yang tetap. Kitalah yang sebenarnya bergerak dan yang ada hanyalah apa yang kita sebut sebagai momentum. Bila kita menggali lebih dalam permasalahan tentang waktu, akan selalu ada sejumlah pendapat tentang konsep, pemaknaan, bahkan misteri tentang waktu tersebut. De Ja Vu, sebuah pengalaman diri yang mungkin pernah dialami oleh setiap manusia akan selalu dikaitkan dengan masalah waktu. Sebagian orang yang diberi karunia Six Sense atau indera keenam pun menganggap bahwa mereka dapat melihat kejadian dalam suatu waktu yang belum terjadi. Bahkan seorang sutradara film kenamaan, Steven Spielberg, menuangkan kegelisahannya tentang waktu dengan membuat sebuah karya film yang berjudul Back to the Future. Film yang diperankan oleh aktor Michael J Fox tersebut bercerita tentang manusia yang melakukan perjalanan dengan mesin waktu yang dibuatnya.

Sepertinya segala pertanyaan dan opini tentang waktu itulah yang menyentuh sekelompok mahasiswa Fikom Unpad Bandung yang tergabung dalam Brigadepoto, untuk mewujudkan jerih payah kreativitas mereka dalam bentuk Pameran Foto yang bertajuk Perspektif ‘Waktu’. Bagi mereka, Perspektif ‘Waktu’ adalah cara pandang untuk melihat suatu peristiwa atau obyek dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh emosi mereka pada suasana yang berbeda. Melalui media fotografi yang diperkenalkan ke dunia sejak tahun 1839 oleh Louis Jacques Mande Daguerre, 30 buah karya foto dipamerkan oleh para mahasiswa yang peduli akan perkembangan seni fotografi tersebut. Karya foto yang berjudul “Kuberikan padamu seperangkat alat tebang dan selembar potret diri” hasil rekaman dan proses kreatif seorang Doly Harahap, merupakan bentuk protes dirinya terhadap pembalakan liar yang berlangsung terus menerus sepanjang waktu sekaligus pemaknaan individu tentang pohon dalam salah satu foto serinya yang bertema Apa Kabar Pepohonan?. Lain halnya dengan karya foto hasil bidikan Sandi ‘Usenk’ yang berjudul “tertawa”. Dengan berani ia menampilkan potret humanis dalam sebuah waktu kehidupan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bandung meski obyek yang diambilnya sengaja dibuat blur (out of focus), seperti halnya sifat waktu yang cenderung absurd. Terinspirasi atas penggalan puisi dari salah satu anak yang bersekolah di sana, ia mencoba menyuarakan sebuah seruan agar kita tidak melakukan hal diskriminatif terhadap kaum yang dianggap minoritas dalam masyarakat. Lalu ada pula foto seri karya Ricky Indrawan yang berjudul ketinggian, kecepatan dan kegelapan. Foto-foto tersebut bak sebuah representasi visual tentang perjalanan waktu berikut rasa yang hadir di sana.

Secara keseluruhan semua karya foto yang dipamerkan cukup mewakili genre fotografi yang ada pada umumnya. Dari mulai gaya reportase, konseptual sampai kepada gaya kontemporer, semua karya foto yang dihasilkan cukup mengangkat tema yang diusung dalam pameran foto ini. Hanya saja permasalahan sekarang adalah bagaimana mereka dapat menjawab karya-karya mereka ketika dilemparkan kepada publik yang pastinya mempunyai paradigma dan interpretasi masing-masing dalam melihat karya foto. Karena bukan masalah benar atau salah dalam menilai sebuah karya foto melainkan apakah kita mau meluangkan sedikit waktu untuk mendengar entah itu pesan, harapan dan segala kisah yang dimiliki oleh si pemotret. Maka dari itu tidak jarang sebuah karya foto dapat menginspirasi seseorang untuk berkarya kembali. Seperti halnya seorang fotografer Robert Capa yang terkenal dengan ucapannya yaitu “if your pictures aren’t good enough you’re not close enough”, yang membuat sebuah karya foto pada tahun 1944 tentang pendaratan tentara amerika di pantai normandia. Dimana foto tersebut banyak menginspirasi film-film perang yang dibuat termasuk film Saving Private Ryan (1998) yang dibintangi aktor kondang Tom Hanks. Atau karya seorang artis yang bernama Lady Filmer pada tahun 1864 yang disebut-sebut sebagai kolase foto pertama di dunia yaitu sebuah karya foto dengan cara memotong dan mengatur foto sedemikian rupa serta menambahkan cat air pada foto tersebut. Bagaimanapun ide yang diciptakan olehnya, saat ini banyak ditiru oleh para fotografer baik dalam bidang seni maupun komersil.

Terlepas dari pakem fotografi yang beragam, sebuah karya foto yang baik sejatinya adalah sebuah karya sederhana yang jujur, memuat isi dan pesan, ada ideologi dan dapat menginspirasi orang yang melihatnya untuk berkarya kembali meskipun semuanya itu tidaklah menjadi mutlak. Agaknya langkah kecil teman-teman brigadepoto lewat suguhan pameran foto ini dapat merupakan awal dari sebuah langkah besar. Ide tentang merekam sebuah waktu menjadi sangat menarik karena sebenarnya keberadaan ruang yang kita tempati saat ini pun secara tidak langsung turut direkam. Merekam waktu berarti merekam kehidupan itu sendiri yang tentunya selalu bergerak, berubah dan mengalir. Menghargai waktu artinya sama dengan menghargai kehidupan itu sendiri. Karena melalui fotografi, citra visual tentang segala kejadian dan obyek yang mengisi ruang kehidupan di jagat raya ini dibekukan kembali dengan harapan agar kita selalu mengingat, mengingat dan mengingat.
Salam. Fotografi bergerak!!!

Bandung, 4 September 2008

galih sedayu
fotografer & pegiat foto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar